Kamis, 22 September 2011

MODEL PEMBELAJARAN

PEMBELAJARAN MODEL VALUE CLARIFICATION TEHNIQUE (VCT) DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn)

(Sebuah Pendekatan Pembentukan Nilai Sikap)

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh - Banyuwangi

Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi

Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dipandang sebagai mata pelajaran yang memegang peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan falsafah bangsa dan konstitusi negara Republik Indonesia. Dengan demikian materi keilmuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tidak hanya mencakup dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) dan ketrampilan kewarganegaraan (civics skills). Tetapi di dalamnya mencakup dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) yakni meliputi: percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan nilai luhur, nilai keadilan, demokrasi, toleransi, kebebasan individu, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas ( Prawita, Diah, Depdikas, 2003 : 4).

Akan tetapi pesatnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi di era globalisasi ternyata berimplikasi luar biasa terhadap pola kehidupan ummat manusia. Bahwa terjadi transformasi budaya dan pergeseran nilai pada seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik pada ranah kompleks ide maupun kompleks kelakuan berpola (prilaku) (Arifin, Dr. M.Si, dalam Media Pendidikan, 2009 : 34). Yang sangat terasa adalah masuknya nilai-nilai budaya asing berpengaruh secara massif pada seluruh sendi-sendi kehidupan, sehingga menimbulkan pembentukan nilai dan kepribadian anak bangsa menjadi persoalan yang semakin kompleks.

Ternyata, seorang pelajar lebih memiliki kecenderungan mengikuti trend yang berkembang di luar komunitas pendidikan. Ia lebih percaya diri jika disebut sebagai anak gaul, sosok ideal bagi mereka bukan lagi seorang guru ataupun para pejuang bangsa, Ia lebih imitatif mengikuti tampilan gaya para artis ataupun selebriti. Demikian pula tayangan TV yang banyak menampilkan senetron-senetron berbahu hedonis, mistik, gaya hidup glamour, dan percintaan yang cenderung vulgar mengeksploitir keseksian tubuh wanita serta porno aksi, maka semakin mempengaruhi dan membentuk pribadi pelajar yang jauh dari norma, pribadi luhur, dan nilai-nilai agama.

Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena bisa menimbulkan terjadinya krisis nilai dan identitas. Di sinilah tanggung jawab seorang guru menjadi lebih berat, lebih khusus adalah guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Karena mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berhubungan langsung dengan pembentukan karakter dan pribadi anak. Meskipun demikian, bagi seorang guru tidak dibenarkan secara sepihak menjastifikasi bahwa anak telah berbuat salah. Sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab moral terhadap masa depan pendidikan anak, maka perlu ada upaya refleksi dari berlangsungnya proses pendidikan dan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah.

Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), masih dijumpai terjadinya kegiatan pembelajaran yang terkesan kaku, kurang mengembangkan kemampuan kreatif dan monoton. Akhirnya anak terasa cepat jenuh, bosan, dan tidak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran sepenuh hati. Demikian pula dalam hal penyampaian misi untuk membentuk warga negara yang baik, berkepribadian, dan bermoral, ternyata belum terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran yang menarik. Pembinaan nilai yang dilakukan terhadap anak masih bersifat konvensional yaitu berupa ceramah, pesan, indoktrinatif, ataupun nasehat-nasehat. Sehingga upaya yang dilakukan belum banyak menyentuh serta tidak menimbulkan kesan yang mendalam pada jiwa anak.

Maka menjadi semakin jelas, bahwa pembentukan nilai dalam jiwa dan kepribadian anak diperlukan metodologi yang menarik, efektif, serta ditunjang oleh suasana pembelajaran yang menyenangkan, penuh dialogis, kreatif dan inspiratif. Oleh karena itu dalam kajian ini akan dideskripsikan “Pembelajaran Model Value Clarification Technique” (VCT) dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

VCT: PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN NILAI

Pembelajaran model Value Clarification Technique (VCT) atau Teknik Pembinaan Nilai merupakan bagian dari langkah teknis Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan Nilai. Model VCT ini adalah ide dasar dari Joyce dan Weil yang ditulis dalam bukunya Models of Teaching dan kemudian dikembangkan oleh Winecoff dalam bukunya Value of educations: Concept and Models. Sedangkan tokoh lain yang juga menggunakan model Pembinaan nilai adalah Leonie dan Simpson yang dikenal dengan Pembinaan Nilai-Moral Norma secara Holistik (Holistic aproach) ( Al-Lamri, Ichas Hamid, Drs. M.Pd. Depdiknas: 2006: 84-85).

Dalam tinjauan konseptual, VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pencapaian pendidikan nilai. Djahiri mengemukakan bahwa VCT, merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik ( Al-Lamri, Ichas Hamid, Drs. M.Pd. Depdiknas: 2006: 87).

Sedangkan secara fungsional dapat dideskripsikan bahwa dalam prosesnya VCT berfungsi untuk: a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat” (Al-Lamri, Ichas Hamid, Drs. M.Pd. Depdiknas: 2006: 87).

MAKNA PEMBENTUKAN NILAI SIKAP

Nilai atau value adalah salah satu bagian penting yang harus turut terpetik dalam pemerolehan pengalaman hasil belajar anak di samping pengetahuan dan ketrampilan. Bahwa pendidikan nilai, baik sebagai satuan pembelajaran maupun sebagai penggerak tujuan dari wahana pendidikan mempunyai peran setrategis dalam upaya membelajarkan peserta didik menuju cita-cita bangsa. Oleh karena itu, muatan pendidikan nilai penting untuk diintrodusir pada setiap mata pelajaran, lebih khususnya PKn. Karena PKn merupakan mata pelajaran berbasis ”nilai”.

Pembentukan nilai sikap menurut paradigma Bloom berarti, terbentuknya suatu pegangan yang konsisten (mantap, ajeg) sehubungan dengan suatu sistem nilai terhadap suatu moment yang khusus (Soetejo,R, Garuda: 1982 : 25). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai sikap ini meliputi 5 (lima) aspek tingkatan tujuan hasil belajar yang diwujudkan dalam bentuk kecakapan prilaku, meliputi:

1. Penerimaan (Receiving), yaitu melahirkan kesadaran akan pentingnya nilai.

2. Kemampuan merespons, yaitu adanya partisipasi aktif untuk memberikan respons atas stimulasi, yang kemudian diwujudkan dalam prilaku. Misalnya: Rajin belajar, Berprilaku Sopan, dsb.

3. Kemampuan Menaksir/menilai/Menghargai dan penentuan sikap. Yaitu sikap toleran untuk menerima dan menghargai atas suatu pandangan atau nilai-nilai yang berbeda.

4. Kemampuan Mengorganisasi / Mengatur, yaitu kemampuan membentuk sistem nilai sebagai pedoman hidup, sehingga memiliki prinsip atas nilai yang diyakini.

5. Kemampuan Mengambil Sikap tertentu / Pembentukan pola hidup, yaitu sikap komitmen serta konsisten untuk menjalankan prinsip.

APLIKASI PEMBELAJARAN MODEL VCT

Untuk memperoleh gambaran yang lebih konkrit tentang Pembelajaran model VCT dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) (Sebuah Pendekatan Pembentukan Nilai Sikap), maka dalam kajian ini akan dideskripsikan secara teknis sebagai berikut:

Tahap Perencanaan.

Guru menyiapkan bahan ajar Teknik Pembinaan Nilai, bahan ajar bisa berupa: materi cerita, tayangan film, atau teknik hipnosis. Bentuk bahan ajar apa yang akan digunakan, guru dapat mempertimbangkan sendiri. Teknik ini digunakan sebagai instrumen untuk mengeksplorasi yaitu menggali dan memperoleh informasi tingkat pemahaman siswa terhadap “nilai”, serta bagaimana cara siswa menentukan “nilai” yang dipilihnya. Substansi materi cerita, tayangan film, dan teknik hipnosis harus disesaikan dengan Kompetensi Dasar, Indikator, dan Tujuan Pembelajaran yang akan diajarkan.

Sebagai contoh: Cerita dalam novel berjudul “Salah Asuhan” untuk membahas Kompetensi Dasar “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka”. Cuplikan film “Naga Bonar” untuk membahas Kompetensi Dasar “Menunjukkan semangat kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dan teknis hipnosis dalam audio visual “Riak Kehidupan Olimpiade Penyandang Cacat” untuk membahas Kompetensi Dasar “Menganalisis persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaran”.

Tahap Pelaksanaan.

1. Kegiatan Awal, meliputi tahapan-tahapan sbb:

a. Orientasi klasikal, 1) Setelah mengucapkan salam dan mengabsen siswa, guru menjelaskan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran yang akan dibahas. 2) guru menguraikan secara singkat prosedur pembelajaran model VCT.

b. Kegiatan apersepsi, guru menggunakan teknik “tanya jawab” untuk megetahui dan menjajagi tingkat pemahaman awal siswa terhadap “nilai”, serta bagaimana cara siswa menentukan “nilai” yang dipilihnya.

2. Kegiatan Inti, meliputi:

a. Sesuai bahan ajar yang dipilih, guru menyampaikan materi cerita, memutar tayangan film, atau melakukan teknik hipnosis. Sementara siswa mendengarkan, mencermatinya dengan penuh khidmat sambil membuat catatan kecil tentang hal-hal yang penting.

b. Setelah materi cerita disampaikan, Film diputar, atau hipnosis dilakukan, kegiatan berikutnya Peserta didik berdiskusi dalam kelompok untuk memberikan tanggapan, kesan dan pesan. Yaitu hal-hal apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dan sikap apa yang perlu dikembangkan oleh diri siswa, serta apa alasan-alasannya. kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas dengan diawali laporan dari masing-masing kelompok secara bergantian. Guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dinamisator dan inspirator agar proses diskusi berjalan dinamis.

c. Guru bersama peserta didik mengambil kesimpulan, dilanjutkan memberikan pengarahan, penguatan, dan penanaman kesadaran sehingga “nilai-nilai” tersebut diterima siswa sebagai milik pribadinya (proses internalisasi diri). Nilai-nilai dimaksud dikaitkan dan disesuaikan dengan tema materi pembelajaran yang sedang dibahas.

Tahap Evaluasi

Guru melakukan post test terhadap siswa untuk mengukur tingkat pemahaman dan kesadaran “nilai”, dari hasil berlangsungnya proses pembelajaran yang dilaksanakan. Karena menyangkut aspek sikap, kepribadian, dan kejiwaan, maka post test yang dilakukan lebih tepat menggunakan:

1. Test skala sikap, yaitu bisa menggunakan skala Likert maupun skala Inkels.

2. mengemukakan pernyataan-pernyataan yang disertai alasan (argumentasi), misalnya : baik-buruk (alasan), benar-salah (alasan), adil-tidak adil (alasan), ya-tidak (alasan), setuju-tidak setuju (alasan), dsb

3. Score yang diperoleh dari hasil post test, selanjutnya diklasifikasi dalam kriteria penilaian sbb:

Score, 90 – 100 = baik sekali. Score, 40 – 59 = kurang.

Score, 75 – 89 = baik. Score, 0 – 39 = kurag sekali.

Score, 60 – 74 = cukup.

PENUTUP

VCT sebagai model pembelajaran bukan sesuatu yang baru, tetapi dalam praktek belum banyak dilakukan, justru terasa masih banyak yang asing. Sehingga perlu ada pemberian informasi, utamanya tentang teknis aplikasinya agar dapat dijadikan sebagai referensi pengembangan model pembelajaran, lebih khusus oleh guru mata pelajaran PKn. Karena, model VCT secara teknis memiliki kedekatan dengan karakter mata pelajaran PKn yang berbasis “nilai”. Dengan kata lain, pembelajaran model VCT merupakan teknis yang efektif untuk mencapai konsep mata pelajaran PKn.

Rabu, 21 September 2011

PEMIKIRAN DAN KRITIK IMPLEMENTASI KURIKULUM

PEMIKIRAN DAN KRITIK IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh - Banyuwangi

Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi

Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Dalam perspektif paradigma mutu, bahwa mutu berarti “perubahan berazas manusiawi” dan “tepat untuk pakai”. Dengan demikian, pendidikan yang berorientasi pada mutu bukan hanya sebatas peningkatan kualitas peserta didik di bidang akademik dan keilmuan. Akan tetapi lebih dari itu bahwa, di dalam penyelenggaraan pendidikan harus memberi nilai manfaat yang lebih praktis bagi pemenuhan kebutuhan hidup peserta didik dan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Dr Joseph M. Juran bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah “mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat”. (Jerome S. Arcaro, 2005:8).

Paradigma ini memiliki relevansi kuat dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), karena essensi KTSP adalah merupakan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat otonom. Melalui otonomi sekolah, dituntut setiap satuan pendidikan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum berbasis mutu. Yaitu kurikulum yang disesuaikan berdasar kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan ketrampilan pribadi, ketrampilan berpikir, ketrampilan sosial, ketrampilan akademik, dan ketrampilan vokasional merupakan keniscayaan dalam KTSP. (Permendiknas, No 22 tahun 2006).

Konsep yang demikian setrategis ini apabila diterapkan secara tepat dan konsisten, maka tidak menutup kemungkinan kita akan benar-benar siap memasuki era “milenium development goals” yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 2015 yang akan datang. Milenium Development Goals tidak lain adalah suatu era pasar bebas atau era globalisasi, sebagai era persaingan mutu atau kualitas, siapa yang berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan eksistensinya. Oleh karena itu, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. (Mulyasa, 2006 : 2). Berarti Pemerintah dalam Milenium Development Goals tahun 2015 berharap sejauh mungkin mutu tidak lagi menjadi persoalan pendidikan Indonesia, pendidikan harus sudah siap dan mampu berkompetisi baik di tingkat regional maupun global.

Kurang lebih 3 tahun KTSP berjalan, tetapi realitas terasa masih jalan di tempat. Dalam banyak kasus, implementasi KTSP masih dihadapkan berbagai persoalan yang menjadi kendala bagi ekspektasi tercapainya tujuan. Yang lebih ironis, penetapan sekolah berkategori Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) justru lebih terkesan dipaksakan, hanya sekedar sebuah identitas yang tidak berdasar kesiapan secara obyektif dari 8 kriteria standar nasional pendidikan.

FAKTOR PENGHAMBAT

Setidaknya dapat diidentifikasi tiga faktor kendala utama yang menjadi penghambat implementasi KTSP: pertama, pemikiran ortodox dan konservatif; kedua, lemahnya misi mutu; dan ketiga, Interest politik lokal.

1. Pemikiran ortodox dan konservatif

Tidak sedikit para profesional pendidik dalam otaknya melekat pola pikir konservatif dan bersifat tradisional, yaitu cara berpikir apriori dalam menyikapi adanya nilai-nilai baru ataupun konsep-konsep baru. Mereka lebih berada pada “status-quo”, menjalankan sesuatu yang ada dan enggan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan.

Dalam konteks implementasi KTSP dapat terlihat, tidak ada keseriusan untuk memahami konsep KTSP, sehingga kurikulum yang dikembangkannya sama sekali tidak mencerminkan nilai, ciri, dan karakteristis pada setiap satuan pendidikan. Bahkan tidak juga memperlihatkan tingkat kepentingan ataupun kebutuhan kehidupan peserta didik dan masyarakat. Justru yang terjadi adalah kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan, baik yang berada di daerah maupun perkotaan cenderung sama sebagai hasil adopsi (baca: copy paste). Berarti dapat dikatakan bahwa, kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan belum memenuhi prinsip-psinsip penyusunan KTSP.

2. Lemahnya Misi Mutu

Misi terkait langsung dengan proses dan tindakan nyata untuk mewujudkan atau merealisasikan visi yang dimiliki oleh satuan pendidikan. Berarti misi dapat berbentuk suatu program dan pemberian layanan pada peserta didik melalui proses kegiatan pendidikan dan pembelajaran.

Fenomena yang terjadi saat ini, misi sebagai proses berlangsungnya pendidikan menjadi titik lemah pada satuan pendidikan. Karena sebagian besar profesional pendidik masih belum menunjukkan konsistensi dan komitmennya pada mutu. Semangat meningkatkan kompetensinya lemah, tingkat kedisiplinannya rendah, dan kegiatan pembelajaran belum efektif karena masih kental dengan metode konvensional, serta miskin inovasi dan kreativitas. Demikian halnya masalah penilaian, seringkali dilakukan tidak berdasar prinsip obyektifitas, transparansi, dan akuntable. Dalam guyonan, sangat populer dengan istilah “ngaji” – ngarang biji. Inilah lemahnya misi mutu para profesional pendidik.

3. Interest Politik Lokal

Bahwa politik serba hadir dalam dimensi ruang dan dimensi apapun, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Maka melalui berlakunya sistem pilkada secara langsung dan otonomi daerah, ternyata lebih mendorong terjadinya hegemoni pilitik dan lembaga pendidikan semakin terkooptasi oleh kepentingan politik lokal.

Kasus di Banyuwangi patut untuk dikaji, akibat harus bisa mengamankan kebijakan populis penguasa berupa biaya pendidikan gratis, ternyata menimbulkan persoalan dilematis dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah berstatus negeri. Bagaimanapun sekolah dituntut untuk bisa membangun mutu dan guru juga harus melakukan pengabdian secara total. Tetapi, pada sisi lain ia dihadapkan oleh krisis keuangan, yaitu kesulitan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pemerintah tidak konsekwen, anggaran pendidikan dari daerah tidak pernah terjadwal dengan tepat. Akibatnya sangat menggelikan, wibawa lembaga pendidikan dipertaruhkan, sekolah terpaksa harus mencari dana talangan (baca: hutang). Dan yang lebih menyulitkan lagi, ketika mengambil insiatif untuk menumbuhkan partisipasi biaya pendidikan dari masyarakat akan beresiko politik pada jabatan yang dimiliki. Ternyata loyalitas lebih berharga dari sebuah prestasi dan kinerja.

Maka praktis, sekolah-sekolah negeri semakin kehilangan kemandirian, Kepala Sekolah tidak memiliki kebebasan mengambil inisiatif, otonomi pendidikan menjadi semu, dan manajemen pengembangan mutu berbasis sekolah sebagai essensi KTSP akhirnya berjalan di tempat.

MENCARI JALAN KELUAR

Persoalan pendidikan ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama, apalagi dunia pendidikan sudah dibuat malu dari gagalnya Ujian Nasional pada 33 SMA. Semua komponen bangsa harus memiliki kepekaan terhadap krisis yang terjadi, tidak perlu saling lempar tanggung jawab, ini adalah menjadi masalah bersama. Oleh karena itu diperlukan pikiran realistis untuk menemukan jalan keluar. Setidaknya ada dua hal yang secepatnya bisa dilakukan:

1. Adanya Pemimpin Mutu

Pengalaman membuktikan, terjadi perubahan sangat signifikan ketika sekolah dipimpin oleh seorang yang memiliki misi mutu. Ia cenderung menerapkan manajemen transparan dan partisipatif. Akhirnya, ia akan lebih mudah membangun kerjasama, menumbuhkan komitmen dan tanggung jawab, serta membangkitkan etos kerja tinggi di Sekolah yang dipimpinnya. Inilah fondasi dari sebuah kemajuan dan keberhasilan.

Maka yang lebih penting adalah mempersiapkan proses rekrutmen kepala sekolah yang visioner. Barangkali perlu ada proses rekrutmen secara berjenjang dan berkesinambungan. Penjaringan guru teladan, guru berprestasi, lomba karya tulis ilmiah guru, uji kepemimpinan dan kinerja, serta pemilihan guru profesional bisa dijadikan sebagai rangkaian sistem dalam pemilihan calon kepala sekolah. Sehingga yang lebih utama adalah kompetensi, kapabilitas, dan bukan karena pesanan atau balas budi.

Tetapi dalam manajemen mutu, bahwa pemimpin mutu tidak hanya tertumpu pada kepala sekolah, semua unsur terlibat dalam sistem. Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru, siswa, dan wali murid, semua memiliki tanggung jawab dan keterlibatan untuk memberikan kontribusi pada upaya mutu. Dan kemampuan untuk menumbuhkan kesadaran, kepedulian menjadi bagian yang harus dimiliki oleh kepala sekolah.

2. Revitalsasi Organisasi Profesi Pendidik

Terindikasi bahwa para profesional pendidik lemah jika berhadapan dengan kekuasaan politik. Ia hanya ngedumel .... ngedumel .... dan ngedumel, tunjangan lauk pauk hangus ngedumel, tunjangan fungsional terhambat ngedumel. Begitu juga ketika terjadi krisis keuangan sekolah, bisanya hanya mengeluh. Tetapi ketika disuruh bersikap, berteriak semuanya diam, lari bersembunyi, bertiarap. Alasannya sama, akan berisiko pada tempat kedinasan dan jabatannya.

Maka di sinilah arti pentingnya pemberdayaan para profesional pendidik. Suatu hal yang harus dilakukan adalah, mengoptimalkan peran organisasi profesi pendidik seperti halnya Musawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Forum Ilmiah Pendidik (FIP), Musawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan utamanya adalah PGRI.

Organisasi ini bukan hanya berfungsi untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, tetapi tidak kalah pentingnya untuk menjadi penjaga eksistensi nilai-nilai dan kerja profesional. Organisasi ini memang tidak harus berpolitik, tetapi juga tidak boleh tinggal diam ketika kebijakan politik mengganggu apalagi menghambat sistem kerja penyelenggaraan pendidikan. Kekuasaan memang harus dihargai dan dihormati, termasuk oleh guru sebagai bagian aparatur pemerintah. Namun demikian, kemerdekaan bersikap serta pemikiran kritis menjadi lebih essensial ketika untuk memperjuangkan masa depan pendidikan dan prinsip-prinsip kerja profesional. Maka sikap independensi dan jatidiri organisasi profesi pendidik untuk menjadi penyalur aspirasi memperjuangkan komitmen pendidikan merupakan suatu kemutlakan. Dan yang jelas, lahirnya absolutisme kekuasaan harus dicegah. Otonomi daerah justru harus memberikan kontribusi mutu serta penguatan bagi berlakunya penyelenggaraan otonomi sekolah sebagai esensi KTSP.

Sikap kritis apapun yang dilakukan, bagi seorang profesional pendidik tidak keburu gegabah, ia memahami tindakan apa yang lebih tepat dilakukan, dan kebaikan menjadi dasar untuk menentukan sikap. Demikian halnya apa yang diperjuangkan merupakan sesuatu yang lebih substanstif, sesuatu yang mendasar bagi masa depan bangsa. Maka perjuangan serta pengabdian seorang profesi pendidik tidak boleh berhenti, setiap generasi dan anak bangsa menunggu, meminta kita untuk menghantarkan pada masa depan yang lebih baik. Guru adalah pejuang nurani, barometer moral dan kunci sukses kemajuan bangsa. Maka naif jika politisi tidak menghargai profesi guru.

MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU


MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU

Di Atas Fondasi Kecerdasan Hati Dan Spiritual




Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si.

· Guru SMA Negeri Darussholah Singojuruh

· Dosen STAI Ibrahim Genteng – Banyuwangi

· Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Masa depan pendidikan mulai menemukan momentumnya, artinya ada harapan menggembirakan bagi bangkitnya dunia pendidikan Indonesia. Fenomena ini ditandai oleh adanya “political will” baik dari para politisi maupun pemerintah berupa dibuatnya kebijakan ataupun regulasi yang memberikan angin segar terhadap percepatan kemajuan pendidikan. Seperti yang nampak dirasakan adalah lahirnya regulasi otonomi pendidikan yang mengarah pada Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), persyaratan sertifikasi guru menuju guru profesional, penyempurnaan kurikulum secara inkremental yang konteks dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan lebih menggembirakan lagi adalah alokasi anggaran pendidikan 20 % dari APBN ataupun APBD akan landing di tahun 2009.

Bagaimanapun, keterlibatan serius negara terhadap pembangunan pendidikan merupakan suatu keniscayaan, termasuk menyangkut perangkat kebijakan dan alokasi anggaran. Sekilas sebagai perbandingan di mana negara-negara yang memiliki pendidikan maju ternyata, memiliki regulasi yang memberikan kontribusi bagi percepatan kemajuan pendidikan serta mengalokasikan anggaran pendidikan cukup tinggi. Minus di luar gaji guru, Belanda misalnya mengalokasikan anggaran pendidikan mencapai 37%, Thailand mencapai 30%, sedangkan di Amerika Serikat, Korea Selatan dan India lebih dari 30%.

Nyata dan jelas sekali investasi di bidang pendidikan merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, karena berimplikasi luas dan positif diberbagai sektor kehidupan. Jepang suatu negara yang pernah hancur, dalam waktu relatif cepat menjadi negara pusat industri dan teknologi tidak lain karena diawali fokus pada pendidikan.

Sementara Indonesia, pendidikannya yang masih jauh terpuruk, akan sangat naif jika masih terjebak dan terperangkap oleh perdebatan konflik internal partai, pendirian partai-partai baru, rebutan kursi politik dan perbincangan demokrasi yang semakin tidak jelas arahnya. Sehingga hanya membuang-buang energi dan tidak menyentuh substansi kebutuhan masyarakat, apalagi masih ribut soal korupsi.

Olah karena itu, menjadi kewajiban segenap komponen bangsa untuk memiliki komitmen terhadap pendidikan. Dan sudah barang tentu yang harus berada di garis depan adalah guru. Gurulah sebagai ujung tombak pendidikan, pemegang kunci dalam mencerdaskan anak bangsa dan segenap kepribadiannya. Di tangan para guru keberhasilan pendidikan akan ditentukan. Maka konsekuensinya, tidak ada pilihan lain kecuali harus meningkatkan profesionalisme. Tanpa kualitas diri dan profesionalisme guru, jangan banyak diharap pendidikan akan berhasil.

Yang menjadi persoalan, harus memulai dari mana profesionalisme guru itu dibangun? Akankah dimulai dari perbaikan tingkat kesejahteraan dan status sosialnya? Meskipun terdengar isue klasik, barangkali tidak terlalu salah jika hal itu mendapat perhatian. Karena gejala yang timbul di permukaan, tingkat kesejahteraan yang layak dapat menjadi pemicu (trigger) dan motivasi tingginya kinerja serta prestasi kerja.

Bagi Indonesia, tingkat kesejahteraan yang selalu menjadi alasan klasik rendahnya mutu guru sudah mulai terjawab. Artinya stigma guru Indonesia tidak lagi seperti “Bapak Oemar Bakri” yang digambarkan tempo dulu oleh sang maestro penyanyi Iwan Fals, tetapi sudah memasuki gengsi tersendiri. Maka akankah profesionalisme guru Indonesia akan segera terwujud? Ternyata itu bukan suatu jaminan. Karena hubungan antara kenaikan gaji dengan mutu pendidikan dan profesionalisme terjadi korelasi secara linier. Artinya, perbaikan tingkat kesejahteraan dan status sosial tidak menjadi kemutlakan meningkatkan profesionalisme dan perbaikan mutu pendidikan.

PERGESERAN PARADIGMA

Justru yang lebih menarik direnungkan adalah terjadinya pergeseran paradigma. Ada kemajuan yang luar biasa tren perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Sumber Daya Manusia dan manajemen terkini, yaitu mengarah pada aspek-aspek etika dan bahkan aspek spiritualisme dalam membangun sumber daya manusianya. Kecenderungan ini diperkuat oleh berbagai temuan data empiris dan hasil survei internasional, yang berarti bukan didapat dari pendekatan dogmatis. Sebagaimana ditulis oleh Prof. DR. Gay Hendrick dan Kate Ludeman dalam bukunya The Corporate Mystic Tahun 2002 menyatakan : “saat ini tren perusahaan – perusahaan raksasa dunia sudah mengarah pada aspek spiritual dalam pengembangan SDM. Anda akan menemukan para sufi korporasi bukan di tempat peribadatan tradisional namun justru di perusahaan-perusahaan raksasa internasional”.

Lebih lanjut Thomas Friedman mengatakan, dalam era pasar yang semakin global, teknologi digital merambah hingga di semua lini kehidupan, ternyata dunia semakin maju tidak lagi hanya bermain di tataran fungsi logika dan profesionalisme kerja, namun juga meaning atau pemaknaan, yaitu mengarah pada ultimate meaning dan purposif – puncak makna dan tujuan hidup yang semakin universal.

Kecenderungan yang demikian ini disebut sebagai awal kebangkitan spiritual. Dengan kata lain, nilai-nilai spiritualitas akan segera ditempatkan di atas paragidma pragmatisme dan materialisme sebagai nilai, makna dan tujuan hidup tertinggi. Maka akan menemukan maknanya yang lebih utuh apabila paradigma yang menempatkan aspek etika dan spiritualitas sebagai nilai, makna dan tujuan hidup tertinggi tidak hanya merambah masuk di lingkungan perusahaan dan dunia bisnis, tetapi juga ditransformasikan ke dalam lingkungan dunia pendidikan. Berarti ekspektasi tercapainya tujuan pendidikan bisa segera terwujud.

PENGUATAN KECERDASARAN HATI DAN SPIRITUAL

Memahami terjadinya pergeseran paradigma di atas, maka dapat diambil makna bahwa membangun profesionalisme guru tidak hanya cukup melalui penguatan tingkat kompetensi dan tingginya nilai kesejahteraan guru. Tetapi lebih dari itu perlu dibarengi dua hal esensial yang selama ini belum banyak disentuh dan sering diabaikan yakni membentuk kecerdasan hati dan kesadaran spiritual.

Hati adalah sumber kecerdasan emosi yang mengajarkan pada kita integritas, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan dan penguasaan diri. Hati juga menjadi sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerja sama, memimpin serta melayani. Maka melalui hati akan membangkitkan nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani, menjadi suatu perbuatan.

Itulah pentingnya kecerdasan hati, ketika profesionalisme guru melupakan, mengabaikan prinsip kecerdasan hati, ia akan kehilangan idealisme, komitmen, integritas dan bahkan kehilangan ketahanan mental. Ia akan menjadi seorang profesionalisme yang lemah, kehilangan konsistensi dan menjadi seorang pekerja yang buruk. Ia menjadi guru bukan lagi karena panggilan jiwa, adanya rasa responsibility terhadap majunya generasi masa depan, tetapi ia menjalankan tugas sebatas hanya karena sebuah pekerjaan. Benar apa yang dikatakan oleh seorang psikolog dari Yale Robert Stanberg ahli dalam bidang Succesful Intelegence, menurut dia : “Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan apabila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk”.

Tidak kalah pentingnya adalah aspek spiritualitas. Sementara masih banyak orang mengabaikan kekuatan spiritualitas, justru berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotipe, dikotomi antara dunia dan akhirat, antara materialisme versus orientasi nilai-nilai ilahiah. Tentu suatu pandangan yang secepatnya untuk dirubah, karena keduanya menjadi kebutuhan hidup manusia secara bersamaan.

Ada temuan menarik dari hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh ahli psikologi / saraf Michael Persinger di tahun 1990 an dan seorang ahli saraf VS Ramachandran di tahun 1997, ternyata dalam diri otak manusia terdapat eksistensi God Spot sebagai pusat spiritual serta tempat dari value manusia tertinggi (The Ultimate Meaning). Melalui God Spot inilah nilai-nilai ilahiah akan berkembang dan menyatu dalam diri (jiwa) manusia, ia akan menemukan makna hidup yang sebenarnya dan tujuan hidup tertinggi.

Maka seorang profesionalisme (guru) yang memiliki kesadaran spiritual tinggi (kecerdasan spiritual – SQ), ia bekerja bukan hanya karena panggilan jiwa tetapi sekaligus menjadi panggilan ilahiah. Dan ia menjalankan profesinya menjadi lebih total, tidak lagi memiliki perasaan tertekan, bukan dorongan materi, juga bukan karena atasan. Tetapi lebih karena didasari oleh kesadaran tinggi bahwa hidup adalah harus bermakna rohaniah. Mengajar di kelas, mencerdaskan anak bangsa disadarinya sebagai kewajiban mengamalkan ilmu, merupakan tugas luhur dan mulia yang patut dijalani dengan prinsip-prinsip profesionalisme yang dilandasi semangat beribadah.

Sekiranya bukan sesuatu yang bersifat utopis, sesuatu yang tidak mungkin bisa dicapai apa yang dipaparkan di atas. Tetapi lebih merupakan sebuah “visi” yang patut kiranya ditransformasikan sehingga melembaga pada sekolah dan setiap satuan pendidikan. Semangat profesionalisme dan budaya mutu akhirnya tidak kehilangan akar nilai-nilai spiritualitas. Dalam arti kata terciptanya suatu iklim profesionalisme yang memiliki sadar nilai etika dan agama pada setiap lembaga pendidikan.

Alamat Penulis

Kantor : SMA Negeri Darussholah Singojuruh

Jl. Gumirih No. 39 Singojuruh – Banyuwangi

Telp. (0333) 635381

Minggu, 31 Januari 2010

MENEGUHKAN IDEOLOGI PANCASILA DI TENGAH KRISIS IDENTITAS NASIONAL


Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh - Banyuwangi, Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi, Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Terlepas dari berkembangnya polemik perbedaan persepsi politik di sekitar peristiwa G 30 S PKI, yang jelas 44 tahun silam secara faktual ideologi Pancasila berada di ambang bahaya akan tenggelam dan terkubur di atas kekuasaan ideologi Komunis. Tetapi bangsa Indonesia patut bersyukur, bahwa pemberontakan G 30 S PKI berhasil digagalkan sehingga ideologi Pancasila dapat terselamatkan. Memang, siapa pun dan kekuatan dari manapun datangnya ketika akan mencoba untuk melawan ideologi Pancasila maka ia akan berhadapan langsung dengan kekuatan bangsa, karena ideologi Pancasila merupakan jiwa dan menjadi milik bersama bangsa Indonesia.

Tetapi yang lebih patut direnungkan kembali dan sekaligus sebagai upaya refleksi adalah, mengapa peristiwa itu bisa terjadi?, bukankah Pancasila telah melekat pada jiwa bangsa Indonesia?. Ternyata persoalannya sangat jelas, Pancasila belum dipahami secara benar, Pancasila hanya sekedar bermakna simbolik serta dipersepsikan sebagai ideologi profan, sehingga tidak terpersonifikasi dalam peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berarti Pancasila kehilangan substansi dan generiknya, makna Pancasila terdistorsi oleh kepentingan politik, karena politik yang berkembang cenderung mengarah pada bentuk-bentuk eksklusifisme, kehadiran partai politik lebih bersifat primordial dan sektarian. Itulah awal terjadinya konflik politik berkepanjangan yang berujung pada terjadinya perpecahan bangsa.

Dari perjalanan sejarah dan peristiwa politik yang pahit, bangsa Indonesia berkomitmen untuk menjaga, mempertahankan, dan menyelamatkan Pancasila dari kekuatan manapun yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekwen. Berarti, Pancasila diharapkan tidak hanya bersifat formal-legalistik, apalagi simbolik dan verbalistik. Pancasila merupakan suatu faham filsafat (Philosofische Grondslag), dan jiwa bangsa yang harus terefleksikan dalam setiap pribadi dan prilaku bangsa, baik pada tingkatan rakyat apalagi pejabat. Ini merupakan suatu amanat dari founding fathers yang harus diwujudkan dan menjadi tanggung jawab bersama.

Ternyata persoalan itu bukan sesuatu yang sederhana, bahwa membangun komitmen, konsistensi, dan karakter bangsa merupakan sesuatu yang kompleks dan tidak mudah. Bisa jadi sisa-sisa mental anak kolonial akibat penindasan panjang oleh kolonialisme belum sepenuhnya hilang, sehingga budaya adi luhung yang mengkristal dalam ideologi Pancasila sebatas sebuah mitos yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila memang tidak lagi ada persoalan politik serius, tetapi dalam implementasinya ternyata belum dibarengi komitmen dan konsistensi untuk mengamalkan nilai-nilai itu dengan baik. Itulah akhirnya Indonesia dihadapkan oleh berbagai krisis nilai dan identitas.

FENOMENA KRISIS IDENTITAS NASIONAL

Identitas nasional tidak lain merupakan Jati diri yang melekat pada suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain yang tumbuh dan berkembang karena diikat oleh kesamaan fisik seperti budaya, agama, dan bahasa serta kesamaan non fisik yaitu keinginan, cita-cita, dan tujuan.

Bagi bangsa Indonesia, identitas sebagai jati diri tidak lain adalah Pancasila. Karena Pancasila merupakan wujud kristalisasi dari nilai-nilai budaya serta cita-cita, pemikiran, maupun gagasan terdalam mengenai wujud kehidupan yang diyakini dan dianggap baik. Untuk itu semangat keagamaan, sikap jujur, ramah, keadaban, semangat kebersamaan, nasionalisme, tenggang rasa, bijaksana, keadilan, dan solidaritas sosial sebagai substansi dan generik nilai-nilai Pancasila mesti terfleksikan dalam kehidupan pribadi dan prilaku bangsa sehari-hari.

Tidak bermaksud menafikan kemajuan pembangunan yang telah dicapai, ternyata bangsa Indonesia masih dihadapkan oleh berbagai persoalan peradaban. Sikap kejujuran terkesan hanya sebuah mitos, bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan menjadi penyakit kronis yang telah menjalar ke berbagai sektor lembaga pemerintahan, bahkan lembaga dewan yang terhormat sekalipun. Reformasi politik yang diharapkan dapat merombak sistem yang rusak, ternyata tidak berdaya dan justru korupsi masih menguat menggejala. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap negara menjadi semakin merosot karena prilaku pemimpin yang kurang amanah. Inilah yang akhirnya menimbulkan citra buruk dan merendahkan martabat bangsa.

Kasus terbaru yang masih segar di ingatan kita adalah aksi kekerasan teror bom dan aksi bom bunuh diri di hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton merupakan paradoks dengan klaim sebagai bangsa yang ramah, santun, dan lebih-lebih agamis. Meskipun tidak dapat digeneralisir, tetapi munculnya kelompok fundamentalis dan radikal sempat terbangun opini buruk di mata dunia internasional terhadap kehidupan beragama di Indonesia, dan yang jelas tindakan itu merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi Pancasila.

Yang justru lebih menyakitkan lagi bahwa kedaulatan negeri ini mulai terkoyak, lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan di tangan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan kita di forum internasional, baik kedaulatan wilayah maupun ekonomi. Sehingga Malaysia semakin menjadi-jadi melakukan manuver dan provokasi mengkoyak-koyak kedaulatan kita. Kasus terbaru adalah klaim terhadap perairan Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya, begitu pula telah beredar di salah satu situs internet bahwa pulau Jemur di kepulauan Riau ditawarkan (dipromosikan) sebagai daerah wisata Malaysia. Bukan hanya sebatas invasi di bidang wilayah, kini Malaysia telah melakukan invasi budaya dengan mengklaim tari pendet, wayang kulit, reog, dan seni batik sebagai budaya asli melayu Malaysia. Sebuah pelecehan dan penghinaan yang luar biasa menyakitkan, Malaysia telah menganggap Indonesia rendah. Bagi Malaysia, Indonesia merupakan negeri yang luas tapi rapuh, dan tidak mampu memberikan perhatian serta mengangkat derajat kesejahteraan ekonomi rakyatnya, sehingga Malaysia seenaknya memperlakukan Indonesia.

Krisis identitas ini merupakan problem serius bangsa yang harus segera diatasi, tidak bisa dianggap enteng. Sebagai bangsa berdaulat bahwa mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah merupakan harga mati, siapapun tidak boleh lemah mensikapinya, rasa nasionalisme dan patriotisme harus bangkit dalam jiwa bangsa. Tetapi bersamaan dengan itu kita mesti sadar, bahwa kita termasuk generasi yang belum amanah terhadap cita-cita luhur dari para pejuang pendiri Republik ini. Lepasnya wilayah perbatasan misalnya, tidak lain karena kelalaian untuk memperhatikan potensi ekonomi masyarakat dan potensi wilayahnya. Ekonomi yang belum kunjung bangkit, juga karena bocornya keuangan dari akibat tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara tingkat peradaban masyarakat juga masih terbelakang, keadaan perekonomiannya lemah, budaya hidup tertib dan disiplin masih buruk, etos kerja dan semangat perubahan rendah, sedangkan keberadaan hukum mudah dipermainkan. Apalagi sumber daya manusia (SDM) dan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan. Itulah yang mesti menjadi garapan serius dan perhatian utama bangsa kita.

MENEGUHKAN IDEOLOGI PANCASILA

Problem krisis identitas yang melanda bangsa ini ternyata merupakan wujud dari akibat tidak komit dan konsis terhadap pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Oleh karenanya, pembentukan nilai dan membangun karakter bangsa (character and nations building) memiliki relevansi dan merupakan keniscayaan.

Sebagai bangsa yang menghargai sejarah mesti sadar dalam dirinya, bahwa Pancasila merupakan capaian demokrasi paling penting yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Begitu juga kita mesti paham, bahwa Pancasila dilahirkan oleh para pendiri negara sebagai sumber bertemunya beragam pandangan, Pancasila tidak lain merupakan sebuah konsensus nasional bangsa Indonesia yang majemuk dan akhirnya Pancasila berfungsi menjadi pedoman bersama (common platform) yang mendasari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka penguatan kesadaran ideologi menjadi sangat penting. Tetapi dalam konteks kehidupan demokrasi, penguatan kesadaran ideologi tidak lagi bersifat indoktrinatif apalagi pemaknaan tunggal oleh negara. Justru yang lebih berarti adalah lahirnya kesadaran pribadi warga negara akan tanggung jawab moral yang tinggi terhadap pentingnya hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Utamanya adalah sikap keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpin, penguasa negara, pejabat, birokrat, dan politisi.

Siapa pun dan dari manapun datangnya pemimpin itu berasal, tergantung hati nurani masyarakat dalam menentukan pilihannya. Pemimpin dalam arti hakiki adalah setiap orang yang memiliki peran dan pengaruh di lingkungan di mana mereka tinggal. Maka pemimpin bisa berarti dalam komunitas keluarga, kelompok, golongan, di suatu institusi, dan lebih-lebih adalah pemimpin negara.

Mereka-mereka itulah yang harus memperlihatkan sikap keteladanan di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin yang baik adalah, ketika diberi amanat dapat dipercaya, bisa berbuat adil, bersikap bijaksana, dan senantiasa berpikir untuk kebaikan serta kemajuan masyarakatnya. Dengan sendirinya pemimpin yang demikian akan dapat menjadi inspirasi bagi berkembangnya suatu masyarakat yang bermartabat dan beradab. Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, maka akan tercipta suatu tatanan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Yaitu pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel jauh dari prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Itulah kiranya faktor pertama yang lebih efektif untuk memberikan penguatan ideologi terhadap masyarakat dalam mengejawantahkan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Sedangkan faktor kedua adalah, perlunya penanaman nilai-nilai dasar pada masyarakat dalam bentuk ajaran yaitu “belumlah sempurna keagamaan seseorang, bila dalam hidupnya belum bermakna pada orang lain atau masyarakat”. Nilai-nilai dasar ini memiliki makna filosofi yang sangat dalam. Melalui nilai-nilai dasar ini, maka akan lahir suatu kehidupan masyarakat yang agamis tetapi sekaligus jauh dari prilaku-prilaku anarkis, keras, dan vandalisme. Bukan sikap keagamaan eksklusif yang muncul, tetapi lahir sikap keagamaan yang inklusif yaitu sikap hidup beragama yang dapat hidup berdampingan dengan kelompok lain, bersikap terbuka, toleran, dan moderat (bijaksana).

Lebih dari itu bahwa, nilai-nilai dasar tersebut dapat menjadi pemicu (trigger) lahirnya suatu kesadaran untuk hidup penuh kreatif, dinamis, dan inovatif. Hidup bukan hanya bermakna pada dirinya, tetapi sekaligus punya arti bagi orang-orang di sekitarnya. Maka sikap bermalas-malas, etos kerja yang rendah, tidak disiplin, sikap ketergantungan akan dilawan oleh prinsip hidup ini. Masyarakat senantiasa berpikir positif untuk membangun peradaban hidup yang lebih maju dan bermartabat. Itulah esensi hidup dalam nilai-nilai ideologi Pancasila.

Maka dua pendekatan tersebut, dapat dikatakan merupakan pendekatan penguatan ideologi Pancasila yang lebih bersifat demokratis dan humanis. Untuk segera ada perubahan, maka hari kesaktian Pancasila bisa dijadikan sebuah momentum sebagai kebangkitan jiwa untuk membangun peradaban masyarakat yang lebih maju dan bermartabat yang berakar dari nilai-nilai Pancasila. Sekarang saatnya harus memulai dan berkomitmen, tidak harus menunggu pergantian generasi, apalagi pemotongan generasi, dan lebih-lebih sebuah revolusi budaya. Kita menginginkan perubahan terjadi secara linier, damai tanpa gejolak.