Minggu, 31 Januari 2010

MENEGUHKAN IDEOLOGI PANCASILA DI TENGAH KRISIS IDENTITAS NASIONAL


Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh - Banyuwangi, Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi, Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Terlepas dari berkembangnya polemik perbedaan persepsi politik di sekitar peristiwa G 30 S PKI, yang jelas 44 tahun silam secara faktual ideologi Pancasila berada di ambang bahaya akan tenggelam dan terkubur di atas kekuasaan ideologi Komunis. Tetapi bangsa Indonesia patut bersyukur, bahwa pemberontakan G 30 S PKI berhasil digagalkan sehingga ideologi Pancasila dapat terselamatkan. Memang, siapa pun dan kekuatan dari manapun datangnya ketika akan mencoba untuk melawan ideologi Pancasila maka ia akan berhadapan langsung dengan kekuatan bangsa, karena ideologi Pancasila merupakan jiwa dan menjadi milik bersama bangsa Indonesia.

Tetapi yang lebih patut direnungkan kembali dan sekaligus sebagai upaya refleksi adalah, mengapa peristiwa itu bisa terjadi?, bukankah Pancasila telah melekat pada jiwa bangsa Indonesia?. Ternyata persoalannya sangat jelas, Pancasila belum dipahami secara benar, Pancasila hanya sekedar bermakna simbolik serta dipersepsikan sebagai ideologi profan, sehingga tidak terpersonifikasi dalam peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berarti Pancasila kehilangan substansi dan generiknya, makna Pancasila terdistorsi oleh kepentingan politik, karena politik yang berkembang cenderung mengarah pada bentuk-bentuk eksklusifisme, kehadiran partai politik lebih bersifat primordial dan sektarian. Itulah awal terjadinya konflik politik berkepanjangan yang berujung pada terjadinya perpecahan bangsa.

Dari perjalanan sejarah dan peristiwa politik yang pahit, bangsa Indonesia berkomitmen untuk menjaga, mempertahankan, dan menyelamatkan Pancasila dari kekuatan manapun yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekwen. Berarti, Pancasila diharapkan tidak hanya bersifat formal-legalistik, apalagi simbolik dan verbalistik. Pancasila merupakan suatu faham filsafat (Philosofische Grondslag), dan jiwa bangsa yang harus terefleksikan dalam setiap pribadi dan prilaku bangsa, baik pada tingkatan rakyat apalagi pejabat. Ini merupakan suatu amanat dari founding fathers yang harus diwujudkan dan menjadi tanggung jawab bersama.

Ternyata persoalan itu bukan sesuatu yang sederhana, bahwa membangun komitmen, konsistensi, dan karakter bangsa merupakan sesuatu yang kompleks dan tidak mudah. Bisa jadi sisa-sisa mental anak kolonial akibat penindasan panjang oleh kolonialisme belum sepenuhnya hilang, sehingga budaya adi luhung yang mengkristal dalam ideologi Pancasila sebatas sebuah mitos yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila memang tidak lagi ada persoalan politik serius, tetapi dalam implementasinya ternyata belum dibarengi komitmen dan konsistensi untuk mengamalkan nilai-nilai itu dengan baik. Itulah akhirnya Indonesia dihadapkan oleh berbagai krisis nilai dan identitas.

FENOMENA KRISIS IDENTITAS NASIONAL

Identitas nasional tidak lain merupakan Jati diri yang melekat pada suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain yang tumbuh dan berkembang karena diikat oleh kesamaan fisik seperti budaya, agama, dan bahasa serta kesamaan non fisik yaitu keinginan, cita-cita, dan tujuan.

Bagi bangsa Indonesia, identitas sebagai jati diri tidak lain adalah Pancasila. Karena Pancasila merupakan wujud kristalisasi dari nilai-nilai budaya serta cita-cita, pemikiran, maupun gagasan terdalam mengenai wujud kehidupan yang diyakini dan dianggap baik. Untuk itu semangat keagamaan, sikap jujur, ramah, keadaban, semangat kebersamaan, nasionalisme, tenggang rasa, bijaksana, keadilan, dan solidaritas sosial sebagai substansi dan generik nilai-nilai Pancasila mesti terfleksikan dalam kehidupan pribadi dan prilaku bangsa sehari-hari.

Tidak bermaksud menafikan kemajuan pembangunan yang telah dicapai, ternyata bangsa Indonesia masih dihadapkan oleh berbagai persoalan peradaban. Sikap kejujuran terkesan hanya sebuah mitos, bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan menjadi penyakit kronis yang telah menjalar ke berbagai sektor lembaga pemerintahan, bahkan lembaga dewan yang terhormat sekalipun. Reformasi politik yang diharapkan dapat merombak sistem yang rusak, ternyata tidak berdaya dan justru korupsi masih menguat menggejala. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap negara menjadi semakin merosot karena prilaku pemimpin yang kurang amanah. Inilah yang akhirnya menimbulkan citra buruk dan merendahkan martabat bangsa.

Kasus terbaru yang masih segar di ingatan kita adalah aksi kekerasan teror bom dan aksi bom bunuh diri di hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton merupakan paradoks dengan klaim sebagai bangsa yang ramah, santun, dan lebih-lebih agamis. Meskipun tidak dapat digeneralisir, tetapi munculnya kelompok fundamentalis dan radikal sempat terbangun opini buruk di mata dunia internasional terhadap kehidupan beragama di Indonesia, dan yang jelas tindakan itu merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi Pancasila.

Yang justru lebih menyakitkan lagi bahwa kedaulatan negeri ini mulai terkoyak, lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan di tangan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan kita di forum internasional, baik kedaulatan wilayah maupun ekonomi. Sehingga Malaysia semakin menjadi-jadi melakukan manuver dan provokasi mengkoyak-koyak kedaulatan kita. Kasus terbaru adalah klaim terhadap perairan Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya, begitu pula telah beredar di salah satu situs internet bahwa pulau Jemur di kepulauan Riau ditawarkan (dipromosikan) sebagai daerah wisata Malaysia. Bukan hanya sebatas invasi di bidang wilayah, kini Malaysia telah melakukan invasi budaya dengan mengklaim tari pendet, wayang kulit, reog, dan seni batik sebagai budaya asli melayu Malaysia. Sebuah pelecehan dan penghinaan yang luar biasa menyakitkan, Malaysia telah menganggap Indonesia rendah. Bagi Malaysia, Indonesia merupakan negeri yang luas tapi rapuh, dan tidak mampu memberikan perhatian serta mengangkat derajat kesejahteraan ekonomi rakyatnya, sehingga Malaysia seenaknya memperlakukan Indonesia.

Krisis identitas ini merupakan problem serius bangsa yang harus segera diatasi, tidak bisa dianggap enteng. Sebagai bangsa berdaulat bahwa mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah merupakan harga mati, siapapun tidak boleh lemah mensikapinya, rasa nasionalisme dan patriotisme harus bangkit dalam jiwa bangsa. Tetapi bersamaan dengan itu kita mesti sadar, bahwa kita termasuk generasi yang belum amanah terhadap cita-cita luhur dari para pejuang pendiri Republik ini. Lepasnya wilayah perbatasan misalnya, tidak lain karena kelalaian untuk memperhatikan potensi ekonomi masyarakat dan potensi wilayahnya. Ekonomi yang belum kunjung bangkit, juga karena bocornya keuangan dari akibat tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara tingkat peradaban masyarakat juga masih terbelakang, keadaan perekonomiannya lemah, budaya hidup tertib dan disiplin masih buruk, etos kerja dan semangat perubahan rendah, sedangkan keberadaan hukum mudah dipermainkan. Apalagi sumber daya manusia (SDM) dan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan. Itulah yang mesti menjadi garapan serius dan perhatian utama bangsa kita.

MENEGUHKAN IDEOLOGI PANCASILA

Problem krisis identitas yang melanda bangsa ini ternyata merupakan wujud dari akibat tidak komit dan konsis terhadap pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Oleh karenanya, pembentukan nilai dan membangun karakter bangsa (character and nations building) memiliki relevansi dan merupakan keniscayaan.

Sebagai bangsa yang menghargai sejarah mesti sadar dalam dirinya, bahwa Pancasila merupakan capaian demokrasi paling penting yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Begitu juga kita mesti paham, bahwa Pancasila dilahirkan oleh para pendiri negara sebagai sumber bertemunya beragam pandangan, Pancasila tidak lain merupakan sebuah konsensus nasional bangsa Indonesia yang majemuk dan akhirnya Pancasila berfungsi menjadi pedoman bersama (common platform) yang mendasari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka penguatan kesadaran ideologi menjadi sangat penting. Tetapi dalam konteks kehidupan demokrasi, penguatan kesadaran ideologi tidak lagi bersifat indoktrinatif apalagi pemaknaan tunggal oleh negara. Justru yang lebih berarti adalah lahirnya kesadaran pribadi warga negara akan tanggung jawab moral yang tinggi terhadap pentingnya hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Utamanya adalah sikap keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpin, penguasa negara, pejabat, birokrat, dan politisi.

Siapa pun dan dari manapun datangnya pemimpin itu berasal, tergantung hati nurani masyarakat dalam menentukan pilihannya. Pemimpin dalam arti hakiki adalah setiap orang yang memiliki peran dan pengaruh di lingkungan di mana mereka tinggal. Maka pemimpin bisa berarti dalam komunitas keluarga, kelompok, golongan, di suatu institusi, dan lebih-lebih adalah pemimpin negara.

Mereka-mereka itulah yang harus memperlihatkan sikap keteladanan di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin yang baik adalah, ketika diberi amanat dapat dipercaya, bisa berbuat adil, bersikap bijaksana, dan senantiasa berpikir untuk kebaikan serta kemajuan masyarakatnya. Dengan sendirinya pemimpin yang demikian akan dapat menjadi inspirasi bagi berkembangnya suatu masyarakat yang bermartabat dan beradab. Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, maka akan tercipta suatu tatanan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Yaitu pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel jauh dari prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Itulah kiranya faktor pertama yang lebih efektif untuk memberikan penguatan ideologi terhadap masyarakat dalam mengejawantahkan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Sedangkan faktor kedua adalah, perlunya penanaman nilai-nilai dasar pada masyarakat dalam bentuk ajaran yaitu “belumlah sempurna keagamaan seseorang, bila dalam hidupnya belum bermakna pada orang lain atau masyarakat”. Nilai-nilai dasar ini memiliki makna filosofi yang sangat dalam. Melalui nilai-nilai dasar ini, maka akan lahir suatu kehidupan masyarakat yang agamis tetapi sekaligus jauh dari prilaku-prilaku anarkis, keras, dan vandalisme. Bukan sikap keagamaan eksklusif yang muncul, tetapi lahir sikap keagamaan yang inklusif yaitu sikap hidup beragama yang dapat hidup berdampingan dengan kelompok lain, bersikap terbuka, toleran, dan moderat (bijaksana).

Lebih dari itu bahwa, nilai-nilai dasar tersebut dapat menjadi pemicu (trigger) lahirnya suatu kesadaran untuk hidup penuh kreatif, dinamis, dan inovatif. Hidup bukan hanya bermakna pada dirinya, tetapi sekaligus punya arti bagi orang-orang di sekitarnya. Maka sikap bermalas-malas, etos kerja yang rendah, tidak disiplin, sikap ketergantungan akan dilawan oleh prinsip hidup ini. Masyarakat senantiasa berpikir positif untuk membangun peradaban hidup yang lebih maju dan bermartabat. Itulah esensi hidup dalam nilai-nilai ideologi Pancasila.

Maka dua pendekatan tersebut, dapat dikatakan merupakan pendekatan penguatan ideologi Pancasila yang lebih bersifat demokratis dan humanis. Untuk segera ada perubahan, maka hari kesaktian Pancasila bisa dijadikan sebuah momentum sebagai kebangkitan jiwa untuk membangun peradaban masyarakat yang lebih maju dan bermartabat yang berakar dari nilai-nilai Pancasila. Sekarang saatnya harus memulai dan berkomitmen, tidak harus menunggu pergantian generasi, apalagi pemotongan generasi, dan lebih-lebih sebuah revolusi budaya. Kita menginginkan perubahan terjadi secara linier, damai tanpa gejolak.