Kamis, 22 September 2011

SERTIFIKASI GURU

PARADOKS SERTIFIKASI GURU

(sebuah perspektif mandeknya mutu pendidikan)




Oleh : Drs. SAIFUL BAHRI, M.Si.

· Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh,

· Dosen STAI Ibrahimy Genteng,

· Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi.

Perkembangan dunia pendidikan Indonesia masih tampak memprihatinkan, jauh dari harapan ideal (ideal expectation) untuk terciptanya kualitas pendidikan yang memungkinkan mampu memberdayakan potensi masyarakat. Statement ini bukan sesuatu yang tidak beralasan, dari hasil survey yang dilakukan oleh the political and economic risk consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post 3 September 2001 menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Begitu pula berdasar index pengembangan sumber daya manusia (Human Depelopment Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 179 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 di antara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 di antara 47 negara pada tahun 2001.

Suatu realitas yang harus diakui meski dengan memikul beban moral yang cukup berat. Tetapi yang lebih prinsip semua komponen bangsa harus bersikap, tidak membiarkan berlama-lama hingga keadaan berlarut-larut menjadi semakin buruk. Karena pendidikan bukan persoalan yang sederhana, pendidikan menyangkut pembentukan manusia dan karakternya yang berdampak signifikan terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan.

1

Terpuruknya ekonomi bangsa yang tidak kunjung bangkit, penyakit korupsi semakin kronis menggerogoti segenap lapisan masyarakat, sendi-sendi moral menjadi rusak, kepedulian sosial menjadi ambyar, kemandirian bangsa menjadi melemah, harkat dan harga diri bangsa semakin merosot, semua itu bermuara pada pendidikan. Artinya, bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses pendidikan berlangsung sehingga tidak mampu menghantarkan terciptanya mutu pada generasi bangsa baik mutu kepribadian, skill, maupun mutu kecerdasan pemikiran.

Menurut mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro, sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yakni : 1) sarana gedung, 2) buku yang berkualitas, 3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Khusus tentang keberadaan guru, lebih lanjut Wardiman Djoyonegoro mengemukakan dalam wawancaranya di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 2004, bahwa hanya 43% guru yang memenuhi syarat. Artinya, sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.

INKONSISTENSI GURU DALAM PEMBELAJARAN

Berbagai upaya perbaikan profesionalisme telah dilakukan oleh pemerintah, termasuk adanya tunjangan gaji profesi melalui persyaratan sertifikasi guru. Hingga tahun 2010, lebih dari 50% baik guru negeri maupun swasta telah terjaring dalam sertifikasi. Hanya saja upaya-upaya itu sekiranya belum menyentuh pada esensinya yakni, belum berpengaruh signifikan terhadap perbaikan dan peningkatan profesionalisme. Kenyataan ini dapat dicermati di lapangan, bahwa masih dijumpai berbagai inkonsistensi guru dalam pembelajaran.

Setidaknya ada 4 (empat) indikasi yang dapat dirasakan dari inkonsistensi guru dalam pembelajaran:

pertama, pelayanan pada peserta didik tidak optimal. Guru sering kali mengambil jalan pintas dalam pembelajaran yakni, mengabaikan perencanaan, tidak membuat persiapan ketika harus melakukan pembelajaran. Kalaupun memiliki, itu pun hasil copy – paste dan sekedar dijadikan kelengkapan administratif yang digunakan jika sewaktu-waktu ditanya oleh pengawas atau kepala sekolah. Padahal mengajar tanpa disertai dengan persiapan dan perencanaan yang baik, proses belajar tidak akan efektif dan efisien. Sehingga dengan sendirinya merugikan peserta didik.

kedua, lemahnya idealisme. Tidak sedikit guru yang mulai kehilangan gairah membaca untuk memperkuat kompetensi keilmuan serta mengembangkan wawasannya. Padahal kompetensi guru sangat berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Siswa yang dibimbing oleh guru yang memiliki kompetensi tinggi dengan guru yang kompetensinya pas-pasan, jelas hasilnya akan berbeda. Maka merupakan suatu keuntungan besar bagi siswa yang memiliki guru yang masih menjaga idealismenya.

Ketiga, Tidak mengembangkan kemampuan kreatif dan inovatif. Bahwa tidak sedikit guru yang mengabaikan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran secara kreatif dan inovatif sehingga kegiatan pembelajaran terkesan monoton tidak berjalan efektif, bahkan banyak siswa mengeluh dan jenuh dalam proses pembelajaran berlangsung.

keempat, tingkat perhatian dan kepedulian pada peserta didik rendah. Bahwa di samping misi mutu akademis, guru memiliki fungsi ganda untuk membentuk kepribadian, karakter, dan sikap mental peserta didik. Tetapi fenomena yang berkembang, guru justru kurang memperhatikan muatan pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berlangsung. Dan bahkan tidak memahami karakteristik peserta didik baik dari aspek fisik, moral, spiritual, dan sosial-emosionalnya. Sehingga ketika anak melakukan kesalahan, guru cenderung menggunakan destructive discipline, yakni menunjukkan sikap marah, dan memberikan hukuman tanpa melihat latar belakang kesalahan yang dilakukannya.

Keempat inkonsistensi tersebut dengan sendirinya akan berimplikasi langsung terhadap mandeknya transformasi mutu pendidikan. Sebab dalam proses pembelajaran, guru menempati posisi sentral sebagai pusat perubahan (agent of change) terhadap kapasitas peserta didik. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa, kompetensi profesional guru merupakan tuntutan dan keniscayaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

PROFESIONALISME GURU, KAPAN...?

Paparan tentang inkonsistensi guru dalam menjalankan profesinya tidak berarti menegasikan keberhasilan dan jasa baik yang telah diabdikan pada masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Tetapi akan lebih bermakna bahwa, sekecil apapun kesalahan yang diperbuat, setidaknya dapat dijadikan sebagai refleksi atau reorientasi pemikiran untuk membangun profesionalisme yang melekat pada dirinya. Karena keberadaan profesionalisme guru menempati kedudukan yang urgen terhadap keberhasilan dan peningkatan kualitas pendidikan.

“What is the profesional teacher like – seperti apakah guru profesional itu? Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, educational leadership edisi Maret 1993 menurunkan laporan utama tentang profesionalisme guru. Menurut jurnal itu, untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal.

“Pertama, Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.

Kedua, Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Ketiga, Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam prilaku siswa sampai tes hasil belajar.

Keempat, Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.

Kelima, Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.”

Ternyata, potret guru profesional terasa amat sederhana dan pragmatis, membuat sesuatu lebih mudah dicapai. Lantas, mengapa sampai kini masih sebatas impian, jauh dari kenyataan? Inilah persoalan guru kita (Indonesia).

Sebenarnya, tidak terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa “Guru Kita” memiliki segenap potensi untuk memenuhi kualifikasi guru profesional. Oleh karenanya yang lebih urgen adalah melakukan tindakan-tindakan nyata untuk mewujudkannya. Pertama, menumbuhkan kemauan atas kemampuannya untuk mengembangkan diri, mengeksplorasi potensinya sehingga lebih menguatkan kompetensi yang dimiliki. Kedua, ditumbuhkan motivasi untuk tetap memiliki idealisme dan komitmen terhadap perbaikan mutu pendidikan. Ketiga, membangkitkan etos kerja tinggi di lingkungan di mana ia bertugas. Dan keempat, dukungan faktor eksternal, terutama menyangkut perhatian negara terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial guru. Dalam prinsip profesionalisme dikenal dengan istilah “well educated, well trained, well paid” karena keahliannya yang tinggi, maka seorang profesional dibayar tinggi.

Adanya persyaratan sertifikasi guru tidak lain merupakan kebijakan yang realistis, yang patut mendapat apresiasi, karena di samping sebagai upaya perbaikan mutu guru sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap jasa dan profesi guru. Guru memang tidak sepantasnya diperlakukan diskriminatif, untuk diperlakukan tidak sama dengan profesi-profesi jenis kepegawaian lainnya.

Tetapi tidak hanya cukup sebatas itu, aturan sertifikasi guru harus dijalankan secara konsisten, konsekuen, jauhkan perasaan-perasaan toleransi dan sikap setengah hati, dan justru harus berjalan normatif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Komponen portofolio sertifikasi guru harus dinilai secermat mungkin untuk menjaga obyektifitas, akurasi dan tingkat akuntabelitas data. Lebih dari itu bahwa, bagi setiap guru yang telah memperoleh tunjangan gaji profesi tidak salah jika pemerintah menerapkan penilaian kinerja, dilakukan evaluasi secara berkelanjutan melalui pengawasan secara terencana dan terprogram. Bukan bermaksud untuk membebani, tetapi untuk lebih meningkatkan rasa tanggung jawab, menjaga komitmen dan konsistensi. Sebab diakui atau tidak, budaya tanggung jawab masyarakat Indonesia masih harus dilakukan secara imperatif, belum tumbuh karena suatu kesadaran diri.

Perubahan menuntut semua orang memiliki komitmen, berarti perubahan yang telah dilakukan oleh guru sudah semestinya dibarengi oleh terciptanya iklim yang kondusif bagi tersedianya sarana pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru. Dalam konteks otonomi pendidikan, maka pemerintah daerah memiliki tanggung jawab langsung dalam penyelenggaraan dan kemajuan pendidikan di daerahnya. Pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) perlu menyiapkan grand designe pendidikan, menyediakan sarana dan prasarana sekolah, mengalokasikan anggaran, menyiapkan investasi pendidikan yang memadai, serta pendayagunaan sumber daya pendidikan secara efisien. Guru harus diberi kesempatan berkembang yang seluas-luasnya tanpa ada kebijakan satu pun yang menghambatnya. Maka expectasi tercapainya tujuan pendidikan secepatnya akan segera terwujud.

MANAJEMEN SEKOLAH BERBUDAYA MUTU

PENCIPTAAN IKLIM

MANAJEMEN SEKOLAH BERBUDAYA MUTU

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri Darussholah Singojuruh

Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi

Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Mutu menjadi kata kunci dalam dunia pendidikan. Mutu pendidikan akan menentukan tingkat peradaban manusia dan masyarakat. Negara yang memiliki kekuatan industri dan teknologi tinggi serta tingkat perekonomian yang mapan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pendidikan dalam menjamin mutu terhadap sumber daya manusianya (SDM).

Tetapi perkembangan dunia pendidikan Indonesia sekarang dihadapkan pada tantangan. Rendahnya mutu di berbagai tingkat dan satuan pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga menjadi issue dan perbincangan aktual yang tidak ada henti-hentinya. Tampak para lulusan SMTA tingkat kompetensi akademiknya terasa pas-pasan, mereka juga masih belum siap memenuhi kebutuhan masyarakat, baik dalam dunia kerja maupun bisnis. Masalah ini berakibat bagi masyarakat yakni, bagi mereka yang tidak produktif akhirnya hanya menjadi beban masyarakat.

Demikian pula terjadi pengangguran semakin bertambah, tingkat kenakalan ataupun kriminal semakin meluas, mereka belum siap menjadi estafet generasi, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi generasi yang merasa terasing dari masyarakatnya. Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu.

Setidaknya terdapat tiga faktor penyebab sistem pendidikan tidak terfokus pada mutu:

Pertama, penyelenggaraan pendidikan terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.

Kedua, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaga termasuk peningkatan mutu pendidikan.

Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim, partisipasi masyarakat pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan baik dalam pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas. (Depdiknas, 2001 : 3-4).

Akibatnya, yang sering terjadi adalah berlangsungnya proses kegiatan pembelajaran yang kehilangan inovasi, kepemimpinan yang tidak visioner, dan hilangnya budaya mutu dalam satuan pendidikan.

Lebih dari itu, berkembang fenomena di kalangan professional pendidik yakni etos kerja yang rendah, pemberian pelayanan pendidikan yang tidak optimal dan tidak adanya upaya refleksi untuk melakukan perbaikan atas kekurangan ataupun kelemahan yang dimiliki. Dengan kata lain iklim budaya mutu di kalangan profesional pendidikan tidak terbangun dengan baik. Memang, masalah ini tidak berlaku pukul rata pada semua satuan pendidikan, tetapi masalah ini menggejala demikian meluas sehingga perlu mendapat perhatian serius.

Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan yang memiliki visi mutu. Karena, Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dan melakukan transformasi mengarah terciptanya iklim budaya mutu.

KONSEP MANAJEMEN BERBUDAYA MUTU

Sudah semestinya Budaya mutu menjadi bagian dalam sistem pendidikan, sebab sistem tidak akan berfungsi efektif manakala budaya mutu di kalangan profesional pendidikan menunjukkan tingkat yang rendah. Maka dengan sendirinya budaya mutu menjadi syarat substantife yang mesti terkondisi pada setiap lembaga pendidikan.

Melalui budaya mutu berarti tercipta suatu iklim yang memungkinkan bagi semua stakeholder (pendidikan) untuk tertanam dalam jiwanya suatu kesadaran, kepedulian, dan komitmen terhadap nilai-nilai produktivitas serta filosofi mutu. Apabila diterapkan secara tepat, maka Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) merupakan metodologi yang dapat membantu para professional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Dan pada akhirnya Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) memudahkan sekolah atau satuan pendidikan untuk mengelola perubahan.

Menurut Jerome S. Arcaro kriteria untuk manajemen sekolah berbudaya mutu ditandai dengan adanya 5 (lima) pilar mutu pendidikan, meliputi: 1. Fokus pada siswa (peserta didik), 2. Keterlibatan total, 3. Pengukuran, 4. Komitmen, dan 5. Perbaikan berkelanjutan.

Namun, masih ada komponen terpenting dari budaya mutu adalah fondasi yang mendasari bangunan pilar mutu, yakni keyakinan dan nilai-nilai sekolah serta visi-misi akan menentukan kekuatan dan keberhasilan transformasi mutu.

Text Box: Focus pada kostumerText Box: Keterlibatan TotalText Box: PEngukuranText Box: KomitmenText Box: Perbaikan berkelanjutanModel Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) dapat digambarkan seperti di bawah ini:

Dari model itu menggambarkan bahwa sekolah mesti mengembangkan sebuah fondasi yang kokoh atas dasar keyakinan, dan nilai-nilai sekolah, lingkungan, serta pribadi orang-orang yang bekerja dalam sistem. Lebih dari itu juga dirumuskan visi-misi yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peserta didik. Akhirnya, berdasar keyakinan, nilai, dan visi-misi dimungkinkan lembaga pendidikan dapat memberikan kontribusinya untuk mengembangkan siswa menjadi warga negara yang bernilai yang dipersiapkan agar lebih baik menghadapi tantangan akademik dan kehidupan di masa depan.

Akan tetapi, 5 (lima) pilar mutu pendidikan sebagai penyangga budaya mutu, secara bersamaan mesti diterapkan secara konsisten.

Pertama, focus pada siswa (peserta didik). Bahwa sekolah dan para professional pendidikan memiliki tanggung tawab yang besar untuk mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari proses belajar di sekolah. Dengan kata lain proses kegiatan pembelajaran mesti dipersiapkan dengan baik, dikelola secara professional agar memberikan nilai manfaat yang besar bagi pengembangan potensi siswa.

Kedua, keterlibatan total. Bahwa setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab Kepala Sekolah, mutu merupakan tanggungjawab semua pihak yaitu, Komite, Guru, Staf, orang tua, bahkan siswa itu sendiri. Mutu, berarti menuntut setiap orang memberi kontribusi bagi upaya mutu.

Ketiga, pengukuran. Ini merupakan bidang yang sering kali gagal dibanyak sekolah, karena apa yang dikerjakan tidak dibarengi pengukuran untuk mengetahui tingkat keberhasilannya. Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah adalah prestasi siswa. Maka para professional pendidikan mesti belajar untuk mengukur mutu (prestasi siswa), mereka perlu memahami pengumpulan dan analisis data yang diperlukan dalam proses yang sedang dikerjakan. Sehingga para professional pendidikan dapat mengukur dan menunjukkan nilai tambah pendidikan.

Keempat, komitmen. Para professional pendidikan harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai, karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Ini berarti perlu adanya perubahan budaya dan manajemen yang memiliki komitmen untuk mendukung proses perubahan kearah peningkatan mutu.

Kelima, perbaikan berkelanjutan. Mutu didasarkan pada konsep, bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Maka para professional pendidikan harus konstan menemukan cara untuk menangani masalah yang muncul, mereka harus memperbaiki proses yang dikembangkannya dan membuat perbaikan yang diperlukan. Oleh karenanya sekolah mesti melakukan sesuatu yang lebih baik, “hari ini lebih baik dibandingkan dengan kemarin”.

MEMBANGKITKAN ETOS KERJA

Terdapat benang merah antara etos kerja, budaya mutu, dan transformasi mutu. Justru etos kerja menjadi rohnya manajemen budaya mutu yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya transformasi mutu.

Etos kerja merupakan semangat dan ketangguhan dalam bekerja yang didasari oleh inovasi dan keteguhan hati untuk mencapai tujuan. Semangat dan ketangguhan kerja ini merupakan suatu kekuatan dasar manusia yang bersifat dinamis, qodrati, dan fitroh. Ia terus mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan tuntutan dan tantangan hidup yang dilaluinya. Kwalita etos kerja bergantung kepada seberapa besar motivasi intrinsic dan ekstrinsik yang mempengaruhi dan membentuk semangat kerja. Apabila ini dibangun dengan setrategi yang tepat guna dan berdaya guna, maka semangat insaniyah ini akan membuat prestasi kerja berjalan optimal.

Untuk membangkitkan etos kerja para professional pendidikan, perlu ditumbuhkan nilai-nilai dalam hati dan kesadarannya meliputi:

Pertama, meyakini profesi pendidik adalah mulia. Bahwa manusia yang berilmu akan diangkat derajatnya disisi Tuhan, sedangkan dalam konteks social ia menjadi kekuatan masyarakat. Apabila dibarengi oleh nilai-nilai etika dan moral maka akan berkembang menjadi masyarakat yang berbudaya dan beradab. Sementara pendidikan merupakan fungsi essensial bagi berkembangnya mayarakat yang demikian. Di sinilah para professional pendidikan memiliki nilai kemulyaan karena suatu pengabdiannya.

Kedua, mencintai profesi pendidik. Sadar dalam dirinya bahwa profesi pendidik bukan hanya sekedar pekerjaan untuk memenuhi nafkah kehidupan, akan tetapi menjadi bagian dari panggilan hati. Integrasinya suatu profesi dengan hati akan berimplikasi lahirnya suatu kesadaran, keteguhan, dan perasaan mendalam untuk mencintai profesinya. Ini menjadi kekuatan, mengubahnya dari sesuatu yang ada dalam piker menjadi suatu perbuatan.

Ketiga, komitmen dan tanggung jawab terhadap masa depan generasi. Pendidikan berarti pembentukan manusia dan karakternya yang berdampak signifikan terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan. Terpuruknya ekonomi bangsa, penyakit korupsi, rusaknya sendi-sendi moral, kemandirian bangsa semakin melemah, demikian pula harkat dan harga diri bangsa semakin merosot, semua akan bermuara pada pendidikan. Barangkali ada sesuatu yang salah dalam proses pendidikan berlangsung. Maka diperlukan lahirnya kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab yang besar bagi para professional pendidik untuk menyiapkan pendidikan yang bisa menjawab tantangan bangsa kedepan kearah yang lebih baik.

Keempat, profesi pendidik bernilai ibadah. Aspek spiritualitas sudah semestinya melekat dalam diri profesional pendidikan. Melalui kesadaran spiritualitas ia akan menemukan makna hidup yang sebenarnya dan tujuan hidup tertinggi. Ia menjalankan tugas profesinya didasari atas kesadaran bahwa hidup harus bermakna ruhaniah, menjalankan tugas disertai rasa ketulusan, dan semangat beribadah.

Kelima, pemberian penghargaan (reward). Kesadaran intrinsic di atas akan terjaga secara konstan apabila seorang professional mendapat perhatian penghargaan (reward). Reward bisa berarti hak yang melekat secara ekonomi, tetapi lebih dari itu secara psikologis reward memiliki efek yang sangat besar dalam pembentukan rasa percaya diri, optimisme, bangga, dan yang terpenting adalah menumbuhkan semangat, produktifitas, dan ketangguhan kerja.

Perubahan merupakan suatu keniscayaan, segalanya bergerak berjalan dinamis, “Pante Rei”. Tidak ada sesuatu yang tetap kecuali yang “Maha Ada”, ini adalah kodrat dari yang “Maha Ada”. Pendidikan akan menemukan maknanya jika memahami kodrat perubahan.

Dari waktu ke waktu para insane pendidikan tidak cukup puas dari apa yang dicapai. Tantangan akan selalu hadir dan menuntut kita untuk selalu berbuat. Perbaikan mutu yang dilandasi oleh pribadi yang kokoh, sadar nilai etika dan agama menjadi tugas dan tanggung jawab yang mesti dihadapi oleh para professional pendidikan. Oleh karenanya rasa percaya diri, optimisme, komitmen, inovasi, etos kerja dan budaya mutu merupakan kesadaran melekat yang mesti tertanam pada jiwa para professional pendidikan. Dengan demikian tidak perlu menunggu waktu lama, ketercapaian mutu pendidikan akan segera diwujudkan.

Alamat Penulis

Kantor : SMA Negeri Darussholah Singojuruh

Jl. Gumirih No. 39 Singojuruh – Banyuwangi

Telp. (0333) 635381

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER

IMG_7758PEMIKIRAN DAN KRITIK

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER

TERINTEGRASI KURIKULUM

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh

Dosen STAI Ibrahimy Genteng - Banyuwangi

Ada perhatian serius oleh Menteri Pendidikan Nasional Bpk. Moh. Nuh terhadap pembentukan karakter peserta didik. Sebagai wujud keseriusan itu, dikeluarkan regulasi PP. No. 66 tahun 2010 yang mewajibkan setiap satuan pendidikan dari sekolah tingkat dasar sampai menengah untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kurikulum. Sebenarnya ini merupakan konsep klasik, karena sejak awal para ahli pendidikan sudah mengembangkan paradigma behaviourisme, bahwa tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku, baik pada aspek kognitif maupun attitude. Tetapi Perhatian ini lebih menemukan urgensinya, ketika muncul fenomena degradasi moral yang berkembang pada kehidupan kebangsaan kita.

Disadari atau tidak, ada sesuatu yang hilang dalam kebangsaan ini. Beberapa dekade belakangan ini nilai-nilai adi luhung kejujuran, rasa keadilan, keadaban, kepekaan sosial, prinsip etika dan agama seakan diabaikan dalam perilaku kehidupan. Hal ini diperparah dengan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh kalangan elit. Perilaku tak terpuji asusila ataupun kasus korupsi yang menyeret tidak sedikit pejabat dan para politisi membuat munculnya krisis kepercayaan publik. Tentu keadaan ini menjadikan bangsa kita semakin kehilangan nilai dan identitas diri sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat. Sepertinya bangsa ini telah kehilangan publik figur keteladanan. Meskipun tidak dapat digeneralisir sebagai potret bangsa secara utuh dan menyeluruh (istilah Jawa: “ojo digebyah uyah podo asine”), tetapi itu merupakan fenomena-fenomena empiris yang menciderai citra, harkat, dan harga diri bangsa.

Itulah problem karakter yang demikian serius di negeri ini. Sampai-sampai ada ungkapan sarkasme, “orang yang berharga di Indonesia adalah yang pandai bicara dan berbohong”. Tanpa harus ditolerir, yang jelas perilaku distructive itu merupakan musuh bangsa, karena akan membawa negeri ini semakin terpuruk. Maka gagasan Mendiknas Moh. Nuh untuk mengangkat kembali pendidikan karakter terintegrasi pada setiap mata pelajaran (kurikulum) harus segera direspon positif oleh segenap lapisan masyarakat, apalagi di kalangan para pendidik.

Komitmen Pendidik

Anak didik kita harus diprotek agar tidak mudah terkontaminasi oleh perilaku-perilaku distructive. Tetapi sayangnya kalangan pendidik (guru) sering terjebak paradigma sekuler dan pragmatisme. Guru cenderung mengedepankan keberhasilan akademik, atau kecerdasan otak (hard skill). Sekolah dikatakan berkualitas, dan guru dianggap berhasil apabila siswanya lulus 100%, memperoleh NUN tinggi, dan outputnya banyak diterima di sekolah-sekolah favorit atau Perguruan Tinggi Negeri. Sehingga tidak segan-segan siswa dipacu menghabiskan waktu di berbagai kegiatan bimbingan belajar untuk mengejar prestasi. Sementara itu, ranah emosional dan spiritual yang membentuk sikap, mental, dan perilaku siswa (soft skill) sering diabaikan. Maka jangan disalahkan jika lahir generasi bangsa yang pintar tetapi berhati kosong dari keimanan, jiwa maupun mentalitasnya miskin dari kejujuran, berbudi pekerti rendah, serta tidak memiliki rasa hormat terhadap orang tua.

Melalui paradigma baru “pendidikan karakter terintegrasi kurikulum”, selayaknya para pendidik (guru) segera melakukan refleksi diri. Adalah muncul semangat baru, etos kerja baru, tumbuh komitmen serta tanggung jawab untuk mengurai benang kusut problem karakter yang terjadi pada anak didik. Karena guru memang memiliki tugas penting yakni mendidik. Aktivitas mendidik merupakan proses menyadarkan manusia agar mengubah dirinya menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, moral, sosial, dan spiritual.

Sejauh ini menunjukkan bahwa, implementasi paradigma pendidikan karakter belum sepenuhnya direspon oleh para guru. Terbukti, dalam pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kegiatan pembelajaran di kelas yang seharusnya mengintegrasikan nilai-nilai karakter belum ada perubahan yang berarti. Bahkan silabus dan RPP sebagai acuan kegiatan pembelajaran hanya merupakan hasil coppy paste. Dengan kata lain misi pendidikan karakter bangsa belum banyak disentuh serius oleh guru. Sehingga konsep pendidikan karakter hanya ramai pada kegiatan workshop dan seminar-seminar. Maka sebaik apapun paradigma atau konsep yang dirancang, ketika tidak dibarengi komitmen tinggi, kesungguhan, kerja keras, apalagi keteladanan hanya akan mengulang kegagalan, dan sebatas retorika.

Ternyata untuk membangkitkan kesadaran sebuah komitmen tidak mudah dan tidak cukup hanya sekedar melalui himbauan, tetapi harus dilakukan langkah efektif dengan berbagai perintah dan pengawasan melekat secara kontinyu, termasuk kepada guru sekalipun. Itulah kiranya, menjadi guru tidaklah mudah. Seorang guru yang baik dalam dirinya harus memiliki integritas, ketulusan untuk mengabdi, kesadaran spiritual dan jiwa keteladanan. Orang-orang seperti itulah yang sekiranya dapat menjalankan missi pendidikan.

Iklim budaya karakter

Kemunduran fungsi pendidikan untuk membentuk sikap, perilaku, dan kepribadian siswa juga tidak bisa dibebankan mutlak pada guru. Karena lebih dari itu banyak dipengaruhi oleh Iklim budaya karakter yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini iklim budaya yang berkembang sering antagonis dengan missi pendidikan. Ketika ada guru peduli mengajarkan budaya hidup bersih misalnya, ternyata perilaku jorok membuang sampah sembarangan merupakan hal biasa di masyarakat. Demikian juga ketika menanamkan prinsip hidup disiplin, taat hukum, jujur, berperilaku sopan, dan ramah, justru yang terjadi adalah muncul berbagai perilaku kekerasan, pengerusakan, penyerangan antar kelompok, pergaulan penuh mesum, perkataan arogan oleh para elite politik, kasus korupsi, dan sedangkan hukum hanya tajam kebawah tumpul di atas. Paradoksi iklim budaya ini tentu sangat menghambat pendidikan karakter.

Sedangkan anak didik sekarang ini memiliki daya kritis tinggi, tidak cukup bagi mereka hanya dibekali doktrin nilai-nilai dan nasehat. Jangan dipersalahkan jika mereka protes pada orang tua, guru, ataupun para pemimpin. Karena mereka membutuhkan bukti, serta keteladanan atas realitas kehidupan sosial budaya yang berkembang. Maka ketika nilai-nilai kehidupan banyak bertentangan dengan hati nuraninya, imposible tujuan pendidikan akan tercapai. Dalam teori pendidikan konvergensi dikatakan, bahwa kepribadian anak bukan hanya lahir dari pembawaan, tetapi akan terbentuk karena lingkungan sosial yang mempengaruhinya.

Itulah arti pentingnya lingkungan. Maka masyarakat dan negara berkewajiban menciptakan iklim lingkungan yang berbudaya dan berkarakter. Tetapi perlu dicatat, bahwa iklim kehidupan berkarakter ternyata tidak cukup dimobilisir melalui kesadaran. Justru tumbuhnya kesadaran masih harus dilakukan secara imperatif, yaitu dibuatnya perangkat aturan dan sanksi yang mengikat agar nilai-nilai menjadi kebiasaan dan tidak mudah diterobos.

Namun di balik itu semua masyarakat dan negara harus tahu, bahwa anak-anak bangsa ini membutuhkan kejelasan prospek hidup. Mereka takut jika pendidikannya terbengkelai, takut menjadi pengangguran. Jadi semakin jelas, dalam pembentukan karakter diperlukan pendekatan secara komprehensif. Tidak cukup para siswa hanya diberi penguatan nilai, memperoleh bimbingan mental-spiritual, serta diterapkan aturan-aturan yang tegas. Tetapi secara konkrit para siswa mengharap bahwa masyarakat maupun negara harus dapat menyiapkan serta memfasilitasi terhadap keadaan masa depan hidupnya.

Dengan demikian pendidikan karakter bangsa tidak hanya tertumpu pada pendidik (guru), tetapi memerlukan keterlibatan dan tanggung jawab seluruh stakeholder pendidikan yang dilakukan secara simultan. Dengan dibarengi pendekatan secara komprehensif, maka memungkinkan pendidikan akan mampu menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik yakni generasi yang berkualitas, cerdas, berakhlak, dan berkepribadian.

Alamat penulis:

1. Kantor: SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh

Jl. Raya Gumirih No. 39 Singojuruh – Banyuwangi

2. Rumah: Canga’an Rt 02 – Rw IX Genteng Wetan – Genteng - Banyuwangi