Kamis, 22 September 2011

MODEL PEMBELAJARAN

PEMBELAJARAN MODEL VALUE CLARIFICATION TEHNIQUE (VCT) DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn)

(Sebuah Pendekatan Pembentukan Nilai Sikap)

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh - Banyuwangi

Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi

Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dipandang sebagai mata pelajaran yang memegang peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan falsafah bangsa dan konstitusi negara Republik Indonesia. Dengan demikian materi keilmuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tidak hanya mencakup dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) dan ketrampilan kewarganegaraan (civics skills). Tetapi di dalamnya mencakup dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) yakni meliputi: percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan nilai luhur, nilai keadilan, demokrasi, toleransi, kebebasan individu, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas ( Prawita, Diah, Depdikas, 2003 : 4).

Akan tetapi pesatnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi di era globalisasi ternyata berimplikasi luar biasa terhadap pola kehidupan ummat manusia. Bahwa terjadi transformasi budaya dan pergeseran nilai pada seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik pada ranah kompleks ide maupun kompleks kelakuan berpola (prilaku) (Arifin, Dr. M.Si, dalam Media Pendidikan, 2009 : 34). Yang sangat terasa adalah masuknya nilai-nilai budaya asing berpengaruh secara massif pada seluruh sendi-sendi kehidupan, sehingga menimbulkan pembentukan nilai dan kepribadian anak bangsa menjadi persoalan yang semakin kompleks.

Ternyata, seorang pelajar lebih memiliki kecenderungan mengikuti trend yang berkembang di luar komunitas pendidikan. Ia lebih percaya diri jika disebut sebagai anak gaul, sosok ideal bagi mereka bukan lagi seorang guru ataupun para pejuang bangsa, Ia lebih imitatif mengikuti tampilan gaya para artis ataupun selebriti. Demikian pula tayangan TV yang banyak menampilkan senetron-senetron berbahu hedonis, mistik, gaya hidup glamour, dan percintaan yang cenderung vulgar mengeksploitir keseksian tubuh wanita serta porno aksi, maka semakin mempengaruhi dan membentuk pribadi pelajar yang jauh dari norma, pribadi luhur, dan nilai-nilai agama.

Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena bisa menimbulkan terjadinya krisis nilai dan identitas. Di sinilah tanggung jawab seorang guru menjadi lebih berat, lebih khusus adalah guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Karena mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berhubungan langsung dengan pembentukan karakter dan pribadi anak. Meskipun demikian, bagi seorang guru tidak dibenarkan secara sepihak menjastifikasi bahwa anak telah berbuat salah. Sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab moral terhadap masa depan pendidikan anak, maka perlu ada upaya refleksi dari berlangsungnya proses pendidikan dan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah.

Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), masih dijumpai terjadinya kegiatan pembelajaran yang terkesan kaku, kurang mengembangkan kemampuan kreatif dan monoton. Akhirnya anak terasa cepat jenuh, bosan, dan tidak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran sepenuh hati. Demikian pula dalam hal penyampaian misi untuk membentuk warga negara yang baik, berkepribadian, dan bermoral, ternyata belum terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran yang menarik. Pembinaan nilai yang dilakukan terhadap anak masih bersifat konvensional yaitu berupa ceramah, pesan, indoktrinatif, ataupun nasehat-nasehat. Sehingga upaya yang dilakukan belum banyak menyentuh serta tidak menimbulkan kesan yang mendalam pada jiwa anak.

Maka menjadi semakin jelas, bahwa pembentukan nilai dalam jiwa dan kepribadian anak diperlukan metodologi yang menarik, efektif, serta ditunjang oleh suasana pembelajaran yang menyenangkan, penuh dialogis, kreatif dan inspiratif. Oleh karena itu dalam kajian ini akan dideskripsikan “Pembelajaran Model Value Clarification Technique” (VCT) dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

VCT: PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN NILAI

Pembelajaran model Value Clarification Technique (VCT) atau Teknik Pembinaan Nilai merupakan bagian dari langkah teknis Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan Nilai. Model VCT ini adalah ide dasar dari Joyce dan Weil yang ditulis dalam bukunya Models of Teaching dan kemudian dikembangkan oleh Winecoff dalam bukunya Value of educations: Concept and Models. Sedangkan tokoh lain yang juga menggunakan model Pembinaan nilai adalah Leonie dan Simpson yang dikenal dengan Pembinaan Nilai-Moral Norma secara Holistik (Holistic aproach) ( Al-Lamri, Ichas Hamid, Drs. M.Pd. Depdiknas: 2006: 84-85).

Dalam tinjauan konseptual, VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pencapaian pendidikan nilai. Djahiri mengemukakan bahwa VCT, merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik ( Al-Lamri, Ichas Hamid, Drs. M.Pd. Depdiknas: 2006: 87).

Sedangkan secara fungsional dapat dideskripsikan bahwa dalam prosesnya VCT berfungsi untuk: a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat” (Al-Lamri, Ichas Hamid, Drs. M.Pd. Depdiknas: 2006: 87).

MAKNA PEMBENTUKAN NILAI SIKAP

Nilai atau value adalah salah satu bagian penting yang harus turut terpetik dalam pemerolehan pengalaman hasil belajar anak di samping pengetahuan dan ketrampilan. Bahwa pendidikan nilai, baik sebagai satuan pembelajaran maupun sebagai penggerak tujuan dari wahana pendidikan mempunyai peran setrategis dalam upaya membelajarkan peserta didik menuju cita-cita bangsa. Oleh karena itu, muatan pendidikan nilai penting untuk diintrodusir pada setiap mata pelajaran, lebih khususnya PKn. Karena PKn merupakan mata pelajaran berbasis ”nilai”.

Pembentukan nilai sikap menurut paradigma Bloom berarti, terbentuknya suatu pegangan yang konsisten (mantap, ajeg) sehubungan dengan suatu sistem nilai terhadap suatu moment yang khusus (Soetejo,R, Garuda: 1982 : 25). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai sikap ini meliputi 5 (lima) aspek tingkatan tujuan hasil belajar yang diwujudkan dalam bentuk kecakapan prilaku, meliputi:

1. Penerimaan (Receiving), yaitu melahirkan kesadaran akan pentingnya nilai.

2. Kemampuan merespons, yaitu adanya partisipasi aktif untuk memberikan respons atas stimulasi, yang kemudian diwujudkan dalam prilaku. Misalnya: Rajin belajar, Berprilaku Sopan, dsb.

3. Kemampuan Menaksir/menilai/Menghargai dan penentuan sikap. Yaitu sikap toleran untuk menerima dan menghargai atas suatu pandangan atau nilai-nilai yang berbeda.

4. Kemampuan Mengorganisasi / Mengatur, yaitu kemampuan membentuk sistem nilai sebagai pedoman hidup, sehingga memiliki prinsip atas nilai yang diyakini.

5. Kemampuan Mengambil Sikap tertentu / Pembentukan pola hidup, yaitu sikap komitmen serta konsisten untuk menjalankan prinsip.

APLIKASI PEMBELAJARAN MODEL VCT

Untuk memperoleh gambaran yang lebih konkrit tentang Pembelajaran model VCT dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) (Sebuah Pendekatan Pembentukan Nilai Sikap), maka dalam kajian ini akan dideskripsikan secara teknis sebagai berikut:

Tahap Perencanaan.

Guru menyiapkan bahan ajar Teknik Pembinaan Nilai, bahan ajar bisa berupa: materi cerita, tayangan film, atau teknik hipnosis. Bentuk bahan ajar apa yang akan digunakan, guru dapat mempertimbangkan sendiri. Teknik ini digunakan sebagai instrumen untuk mengeksplorasi yaitu menggali dan memperoleh informasi tingkat pemahaman siswa terhadap “nilai”, serta bagaimana cara siswa menentukan “nilai” yang dipilihnya. Substansi materi cerita, tayangan film, dan teknik hipnosis harus disesaikan dengan Kompetensi Dasar, Indikator, dan Tujuan Pembelajaran yang akan diajarkan.

Sebagai contoh: Cerita dalam novel berjudul “Salah Asuhan” untuk membahas Kompetensi Dasar “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka”. Cuplikan film “Naga Bonar” untuk membahas Kompetensi Dasar “Menunjukkan semangat kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dan teknis hipnosis dalam audio visual “Riak Kehidupan Olimpiade Penyandang Cacat” untuk membahas Kompetensi Dasar “Menganalisis persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaran”.

Tahap Pelaksanaan.

1. Kegiatan Awal, meliputi tahapan-tahapan sbb:

a. Orientasi klasikal, 1) Setelah mengucapkan salam dan mengabsen siswa, guru menjelaskan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran yang akan dibahas. 2) guru menguraikan secara singkat prosedur pembelajaran model VCT.

b. Kegiatan apersepsi, guru menggunakan teknik “tanya jawab” untuk megetahui dan menjajagi tingkat pemahaman awal siswa terhadap “nilai”, serta bagaimana cara siswa menentukan “nilai” yang dipilihnya.

2. Kegiatan Inti, meliputi:

a. Sesuai bahan ajar yang dipilih, guru menyampaikan materi cerita, memutar tayangan film, atau melakukan teknik hipnosis. Sementara siswa mendengarkan, mencermatinya dengan penuh khidmat sambil membuat catatan kecil tentang hal-hal yang penting.

b. Setelah materi cerita disampaikan, Film diputar, atau hipnosis dilakukan, kegiatan berikutnya Peserta didik berdiskusi dalam kelompok untuk memberikan tanggapan, kesan dan pesan. Yaitu hal-hal apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dan sikap apa yang perlu dikembangkan oleh diri siswa, serta apa alasan-alasannya. kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas dengan diawali laporan dari masing-masing kelompok secara bergantian. Guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dinamisator dan inspirator agar proses diskusi berjalan dinamis.

c. Guru bersama peserta didik mengambil kesimpulan, dilanjutkan memberikan pengarahan, penguatan, dan penanaman kesadaran sehingga “nilai-nilai” tersebut diterima siswa sebagai milik pribadinya (proses internalisasi diri). Nilai-nilai dimaksud dikaitkan dan disesuaikan dengan tema materi pembelajaran yang sedang dibahas.

Tahap Evaluasi

Guru melakukan post test terhadap siswa untuk mengukur tingkat pemahaman dan kesadaran “nilai”, dari hasil berlangsungnya proses pembelajaran yang dilaksanakan. Karena menyangkut aspek sikap, kepribadian, dan kejiwaan, maka post test yang dilakukan lebih tepat menggunakan:

1. Test skala sikap, yaitu bisa menggunakan skala Likert maupun skala Inkels.

2. mengemukakan pernyataan-pernyataan yang disertai alasan (argumentasi), misalnya : baik-buruk (alasan), benar-salah (alasan), adil-tidak adil (alasan), ya-tidak (alasan), setuju-tidak setuju (alasan), dsb

3. Score yang diperoleh dari hasil post test, selanjutnya diklasifikasi dalam kriteria penilaian sbb:

Score, 90 – 100 = baik sekali. Score, 40 – 59 = kurang.

Score, 75 – 89 = baik. Score, 0 – 39 = kurag sekali.

Score, 60 – 74 = cukup.

PENUTUP

VCT sebagai model pembelajaran bukan sesuatu yang baru, tetapi dalam praktek belum banyak dilakukan, justru terasa masih banyak yang asing. Sehingga perlu ada pemberian informasi, utamanya tentang teknis aplikasinya agar dapat dijadikan sebagai referensi pengembangan model pembelajaran, lebih khusus oleh guru mata pelajaran PKn. Karena, model VCT secara teknis memiliki kedekatan dengan karakter mata pelajaran PKn yang berbasis “nilai”. Dengan kata lain, pembelajaran model VCT merupakan teknis yang efektif untuk mencapai konsep mata pelajaran PKn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar