Kamis, 22 September 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER

IMG_7758PEMIKIRAN DAN KRITIK

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER

TERINTEGRASI KURIKULUM

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh

Dosen STAI Ibrahimy Genteng - Banyuwangi

Ada perhatian serius oleh Menteri Pendidikan Nasional Bpk. Moh. Nuh terhadap pembentukan karakter peserta didik. Sebagai wujud keseriusan itu, dikeluarkan regulasi PP. No. 66 tahun 2010 yang mewajibkan setiap satuan pendidikan dari sekolah tingkat dasar sampai menengah untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kurikulum. Sebenarnya ini merupakan konsep klasik, karena sejak awal para ahli pendidikan sudah mengembangkan paradigma behaviourisme, bahwa tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku, baik pada aspek kognitif maupun attitude. Tetapi Perhatian ini lebih menemukan urgensinya, ketika muncul fenomena degradasi moral yang berkembang pada kehidupan kebangsaan kita.

Disadari atau tidak, ada sesuatu yang hilang dalam kebangsaan ini. Beberapa dekade belakangan ini nilai-nilai adi luhung kejujuran, rasa keadilan, keadaban, kepekaan sosial, prinsip etika dan agama seakan diabaikan dalam perilaku kehidupan. Hal ini diperparah dengan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh kalangan elit. Perilaku tak terpuji asusila ataupun kasus korupsi yang menyeret tidak sedikit pejabat dan para politisi membuat munculnya krisis kepercayaan publik. Tentu keadaan ini menjadikan bangsa kita semakin kehilangan nilai dan identitas diri sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat. Sepertinya bangsa ini telah kehilangan publik figur keteladanan. Meskipun tidak dapat digeneralisir sebagai potret bangsa secara utuh dan menyeluruh (istilah Jawa: “ojo digebyah uyah podo asine”), tetapi itu merupakan fenomena-fenomena empiris yang menciderai citra, harkat, dan harga diri bangsa.

Itulah problem karakter yang demikian serius di negeri ini. Sampai-sampai ada ungkapan sarkasme, “orang yang berharga di Indonesia adalah yang pandai bicara dan berbohong”. Tanpa harus ditolerir, yang jelas perilaku distructive itu merupakan musuh bangsa, karena akan membawa negeri ini semakin terpuruk. Maka gagasan Mendiknas Moh. Nuh untuk mengangkat kembali pendidikan karakter terintegrasi pada setiap mata pelajaran (kurikulum) harus segera direspon positif oleh segenap lapisan masyarakat, apalagi di kalangan para pendidik.

Komitmen Pendidik

Anak didik kita harus diprotek agar tidak mudah terkontaminasi oleh perilaku-perilaku distructive. Tetapi sayangnya kalangan pendidik (guru) sering terjebak paradigma sekuler dan pragmatisme. Guru cenderung mengedepankan keberhasilan akademik, atau kecerdasan otak (hard skill). Sekolah dikatakan berkualitas, dan guru dianggap berhasil apabila siswanya lulus 100%, memperoleh NUN tinggi, dan outputnya banyak diterima di sekolah-sekolah favorit atau Perguruan Tinggi Negeri. Sehingga tidak segan-segan siswa dipacu menghabiskan waktu di berbagai kegiatan bimbingan belajar untuk mengejar prestasi. Sementara itu, ranah emosional dan spiritual yang membentuk sikap, mental, dan perilaku siswa (soft skill) sering diabaikan. Maka jangan disalahkan jika lahir generasi bangsa yang pintar tetapi berhati kosong dari keimanan, jiwa maupun mentalitasnya miskin dari kejujuran, berbudi pekerti rendah, serta tidak memiliki rasa hormat terhadap orang tua.

Melalui paradigma baru “pendidikan karakter terintegrasi kurikulum”, selayaknya para pendidik (guru) segera melakukan refleksi diri. Adalah muncul semangat baru, etos kerja baru, tumbuh komitmen serta tanggung jawab untuk mengurai benang kusut problem karakter yang terjadi pada anak didik. Karena guru memang memiliki tugas penting yakni mendidik. Aktivitas mendidik merupakan proses menyadarkan manusia agar mengubah dirinya menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, moral, sosial, dan spiritual.

Sejauh ini menunjukkan bahwa, implementasi paradigma pendidikan karakter belum sepenuhnya direspon oleh para guru. Terbukti, dalam pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kegiatan pembelajaran di kelas yang seharusnya mengintegrasikan nilai-nilai karakter belum ada perubahan yang berarti. Bahkan silabus dan RPP sebagai acuan kegiatan pembelajaran hanya merupakan hasil coppy paste. Dengan kata lain misi pendidikan karakter bangsa belum banyak disentuh serius oleh guru. Sehingga konsep pendidikan karakter hanya ramai pada kegiatan workshop dan seminar-seminar. Maka sebaik apapun paradigma atau konsep yang dirancang, ketika tidak dibarengi komitmen tinggi, kesungguhan, kerja keras, apalagi keteladanan hanya akan mengulang kegagalan, dan sebatas retorika.

Ternyata untuk membangkitkan kesadaran sebuah komitmen tidak mudah dan tidak cukup hanya sekedar melalui himbauan, tetapi harus dilakukan langkah efektif dengan berbagai perintah dan pengawasan melekat secara kontinyu, termasuk kepada guru sekalipun. Itulah kiranya, menjadi guru tidaklah mudah. Seorang guru yang baik dalam dirinya harus memiliki integritas, ketulusan untuk mengabdi, kesadaran spiritual dan jiwa keteladanan. Orang-orang seperti itulah yang sekiranya dapat menjalankan missi pendidikan.

Iklim budaya karakter

Kemunduran fungsi pendidikan untuk membentuk sikap, perilaku, dan kepribadian siswa juga tidak bisa dibebankan mutlak pada guru. Karena lebih dari itu banyak dipengaruhi oleh Iklim budaya karakter yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini iklim budaya yang berkembang sering antagonis dengan missi pendidikan. Ketika ada guru peduli mengajarkan budaya hidup bersih misalnya, ternyata perilaku jorok membuang sampah sembarangan merupakan hal biasa di masyarakat. Demikian juga ketika menanamkan prinsip hidup disiplin, taat hukum, jujur, berperilaku sopan, dan ramah, justru yang terjadi adalah muncul berbagai perilaku kekerasan, pengerusakan, penyerangan antar kelompok, pergaulan penuh mesum, perkataan arogan oleh para elite politik, kasus korupsi, dan sedangkan hukum hanya tajam kebawah tumpul di atas. Paradoksi iklim budaya ini tentu sangat menghambat pendidikan karakter.

Sedangkan anak didik sekarang ini memiliki daya kritis tinggi, tidak cukup bagi mereka hanya dibekali doktrin nilai-nilai dan nasehat. Jangan dipersalahkan jika mereka protes pada orang tua, guru, ataupun para pemimpin. Karena mereka membutuhkan bukti, serta keteladanan atas realitas kehidupan sosial budaya yang berkembang. Maka ketika nilai-nilai kehidupan banyak bertentangan dengan hati nuraninya, imposible tujuan pendidikan akan tercapai. Dalam teori pendidikan konvergensi dikatakan, bahwa kepribadian anak bukan hanya lahir dari pembawaan, tetapi akan terbentuk karena lingkungan sosial yang mempengaruhinya.

Itulah arti pentingnya lingkungan. Maka masyarakat dan negara berkewajiban menciptakan iklim lingkungan yang berbudaya dan berkarakter. Tetapi perlu dicatat, bahwa iklim kehidupan berkarakter ternyata tidak cukup dimobilisir melalui kesadaran. Justru tumbuhnya kesadaran masih harus dilakukan secara imperatif, yaitu dibuatnya perangkat aturan dan sanksi yang mengikat agar nilai-nilai menjadi kebiasaan dan tidak mudah diterobos.

Namun di balik itu semua masyarakat dan negara harus tahu, bahwa anak-anak bangsa ini membutuhkan kejelasan prospek hidup. Mereka takut jika pendidikannya terbengkelai, takut menjadi pengangguran. Jadi semakin jelas, dalam pembentukan karakter diperlukan pendekatan secara komprehensif. Tidak cukup para siswa hanya diberi penguatan nilai, memperoleh bimbingan mental-spiritual, serta diterapkan aturan-aturan yang tegas. Tetapi secara konkrit para siswa mengharap bahwa masyarakat maupun negara harus dapat menyiapkan serta memfasilitasi terhadap keadaan masa depan hidupnya.

Dengan demikian pendidikan karakter bangsa tidak hanya tertumpu pada pendidik (guru), tetapi memerlukan keterlibatan dan tanggung jawab seluruh stakeholder pendidikan yang dilakukan secara simultan. Dengan dibarengi pendekatan secara komprehensif, maka memungkinkan pendidikan akan mampu menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik yakni generasi yang berkualitas, cerdas, berakhlak, dan berkepribadian.

Alamat penulis:

1. Kantor: SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh

Jl. Raya Gumirih No. 39 Singojuruh – Banyuwangi

2. Rumah: Canga’an Rt 02 – Rw IX Genteng Wetan – Genteng - Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar