PENCIPTAAN IKLIM
MANAJEMEN SEKOLAH BERBUDAYA MUTU
Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si
Guru SMA Negeri Darussholah Singojuruh
Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi
Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi
Mutu menjadi kata kunci dalam dunia pendidikan. Mutu pendidikan akan menentukan tingkat peradaban manusia dan masyarakat. Negara yang memiliki kekuatan industri dan teknologi tinggi serta tingkat perekonomian yang mapan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pendidikan dalam menjamin mutu terhadap sumber daya manusianya (SDM).
Tetapi perkembangan dunia pendidikan Indonesia sekarang dihadapkan pada tantangan. Rendahnya mutu di berbagai tingkat dan satuan pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga menjadi issue dan perbincangan aktual yang tidak ada henti-hentinya. Tampak para lulusan SMTA tingkat kompetensi akademiknya terasa pas-pasan, mereka juga masih belum siap memenuhi kebutuhan masyarakat, baik dalam dunia kerja maupun bisnis. Masalah ini berakibat bagi masyarakat yakni, bagi mereka yang tidak produktif akhirnya hanya menjadi beban masyarakat.
Demikian pula terjadi pengangguran semakin bertambah, tingkat kenakalan ataupun kriminal semakin meluas, mereka belum siap menjadi estafet generasi, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi generasi yang merasa terasing dari masyarakatnya. Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu.
Setidaknya terdapat tiga faktor penyebab sistem pendidikan tidak terfokus pada mutu:
Pertama, penyelenggaraan pendidikan terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
Kedua, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaga termasuk peningkatan mutu pendidikan.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim, partisipasi masyarakat pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan baik dalam pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas. (Depdiknas, 2001 : 3-4).
Akibatnya, yang sering terjadi adalah berlangsungnya proses kegiatan pembelajaran yang kehilangan inovasi, kepemimpinan yang tidak visioner, dan hilangnya budaya mutu dalam satuan pendidikan.
Lebih dari itu, berkembang fenomena di kalangan professional pendidik yakni etos kerja yang rendah, pemberian pelayanan pendidikan yang tidak optimal dan tidak adanya upaya refleksi untuk melakukan perbaikan atas kekurangan ataupun kelemahan yang dimiliki. Dengan kata lain iklim budaya mutu di kalangan profesional pendidikan tidak terbangun dengan baik. Memang, masalah ini tidak berlaku pukul rata pada semua satuan pendidikan, tetapi masalah ini menggejala demikian meluas sehingga perlu mendapat perhatian serius.
Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan yang memiliki visi mutu. Karena, Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dan melakukan transformasi mengarah terciptanya iklim budaya mutu.
KONSEP MANAJEMEN BERBUDAYA MUTU
Sudah semestinya Budaya mutu menjadi bagian dalam sistem pendidikan, sebab sistem tidak akan berfungsi efektif manakala budaya mutu di kalangan profesional pendidikan menunjukkan tingkat yang rendah. Maka dengan sendirinya budaya mutu menjadi syarat substantife yang mesti terkondisi pada setiap lembaga pendidikan.
Melalui budaya mutu berarti tercipta suatu iklim yang memungkinkan bagi semua stakeholder (pendidikan) untuk tertanam dalam jiwanya suatu kesadaran, kepedulian, dan komitmen terhadap nilai-nilai produktivitas serta filosofi mutu. Apabila diterapkan secara tepat, maka Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) merupakan metodologi yang dapat membantu para professional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Dan pada akhirnya Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) memudahkan sekolah atau satuan pendidikan untuk mengelola perubahan.
Menurut Jerome S. Arcaro kriteria untuk manajemen sekolah berbudaya mutu ditandai dengan adanya 5 (lima) pilar mutu pendidikan, meliputi: 1. Fokus pada siswa (peserta didik), 2. Keterlibatan total, 3. Pengukuran, 4. Komitmen, dan 5. Perbaikan berkelanjutan.
Namun, masih ada komponen terpenting dari budaya mutu adalah fondasi yang mendasari bangunan pilar mutu, yakni keyakinan dan nilai-nilai sekolah serta visi-misi akan menentukan kekuatan dan keberhasilan transformasi mutu.
Model Manajemen Berbudaya Mutu (MBM) dapat digambarkan seperti di bawah ini:
Dari model itu menggambarkan bahwa sekolah mesti mengembangkan sebuah fondasi yang kokoh atas dasar keyakinan, dan nilai-nilai sekolah, lingkungan, serta pribadi orang-orang yang bekerja dalam sistem. Lebih dari itu juga dirumuskan visi-misi yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peserta didik. Akhirnya, berdasar keyakinan, nilai, dan visi-misi dimungkinkan lembaga pendidikan dapat memberikan kontribusinya untuk mengembangkan siswa menjadi warga negara yang bernilai yang dipersiapkan agar lebih baik menghadapi tantangan akademik dan kehidupan di masa depan.
Akan tetapi, 5 (lima) pilar mutu pendidikan sebagai penyangga budaya mutu, secara bersamaan mesti diterapkan secara konsisten.
Pertama, focus pada siswa (peserta didik). Bahwa sekolah dan para professional pendidikan memiliki tanggung tawab yang besar untuk mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari proses belajar di sekolah. Dengan kata lain proses kegiatan pembelajaran mesti dipersiapkan dengan baik, dikelola secara professional agar memberikan nilai manfaat yang besar bagi pengembangan potensi siswa.
Kedua, keterlibatan total. Bahwa setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab Kepala Sekolah, mutu merupakan tanggungjawab semua pihak yaitu, Komite, Guru, Staf, orang tua, bahkan siswa itu sendiri. Mutu, berarti menuntut setiap orang memberi kontribusi bagi upaya mutu.
Ketiga, pengukuran. Ini merupakan bidang yang sering kali gagal dibanyak sekolah, karena apa yang dikerjakan tidak dibarengi pengukuran untuk mengetahui tingkat keberhasilannya. Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah adalah prestasi siswa. Maka para professional pendidikan mesti belajar untuk mengukur mutu (prestasi siswa), mereka perlu memahami pengumpulan dan analisis data yang diperlukan dalam proses yang sedang dikerjakan. Sehingga para professional pendidikan dapat mengukur dan menunjukkan nilai tambah pendidikan.
Keempat, komitmen. Para professional pendidikan harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai, karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Ini berarti perlu adanya perubahan budaya dan manajemen yang memiliki komitmen untuk mendukung proses perubahan kearah peningkatan mutu.
Kelima, perbaikan berkelanjutan. Mutu didasarkan pada konsep, bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Maka para professional pendidikan harus konstan menemukan cara untuk menangani masalah yang muncul, mereka harus memperbaiki proses yang dikembangkannya dan membuat perbaikan yang diperlukan. Oleh karenanya sekolah mesti melakukan sesuatu yang lebih baik, “hari ini lebih baik dibandingkan dengan kemarin”.
MEMBANGKITKAN ETOS KERJA
Terdapat benang merah antara etos kerja, budaya mutu, dan transformasi mutu. Justru etos kerja menjadi rohnya manajemen budaya mutu yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya transformasi mutu.
Etos kerja merupakan semangat dan ketangguhan dalam bekerja yang didasari oleh inovasi dan keteguhan hati untuk mencapai tujuan. Semangat dan ketangguhan kerja ini merupakan suatu kekuatan dasar manusia yang bersifat dinamis, qodrati, dan fitroh. Ia terus mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan tuntutan dan tantangan hidup yang dilaluinya. Kwalita etos kerja bergantung kepada seberapa besar motivasi intrinsic dan ekstrinsik yang mempengaruhi dan membentuk semangat kerja. Apabila ini dibangun dengan setrategi yang tepat guna dan berdaya guna, maka semangat insaniyah ini akan membuat prestasi kerja berjalan optimal.
Untuk membangkitkan etos kerja para professional pendidikan, perlu ditumbuhkan nilai-nilai dalam hati dan kesadarannya meliputi:
Pertama, meyakini profesi pendidik adalah mulia. Bahwa manusia yang berilmu akan diangkat derajatnya disisi Tuhan, sedangkan dalam konteks social ia menjadi kekuatan masyarakat. Apabila dibarengi oleh nilai-nilai etika dan moral maka akan berkembang menjadi masyarakat yang berbudaya dan beradab. Sementara pendidikan merupakan fungsi essensial bagi berkembangnya mayarakat yang demikian. Di sinilah para professional pendidikan memiliki nilai kemulyaan karena suatu pengabdiannya.
Kedua, mencintai profesi pendidik. Sadar dalam dirinya bahwa profesi pendidik bukan hanya sekedar pekerjaan untuk memenuhi nafkah kehidupan, akan tetapi menjadi bagian dari panggilan hati. Integrasinya suatu profesi dengan hati akan berimplikasi lahirnya suatu kesadaran, keteguhan, dan perasaan mendalam untuk mencintai profesinya. Ini menjadi kekuatan, mengubahnya dari sesuatu yang ada dalam piker menjadi suatu perbuatan.
Ketiga, komitmen dan tanggung jawab terhadap masa depan generasi. Pendidikan berarti pembentukan manusia dan karakternya yang berdampak signifikan terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan. Terpuruknya ekonomi bangsa, penyakit korupsi, rusaknya sendi-sendi moral, kemandirian bangsa semakin melemah, demikian pula harkat dan harga diri bangsa semakin merosot, semua akan bermuara pada pendidikan. Barangkali ada sesuatu yang salah dalam proses pendidikan berlangsung. Maka diperlukan lahirnya kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab yang besar bagi para professional pendidik untuk menyiapkan pendidikan yang bisa menjawab tantangan bangsa kedepan kearah yang lebih baik.
Keempat, profesi pendidik bernilai ibadah. Aspek spiritualitas sudah semestinya melekat dalam diri profesional pendidikan. Melalui kesadaran spiritualitas ia akan menemukan makna hidup yang sebenarnya dan tujuan hidup tertinggi. Ia menjalankan tugas profesinya didasari atas kesadaran bahwa hidup harus bermakna ruhaniah, menjalankan tugas disertai rasa ketulusan, dan semangat beribadah.
Kelima, pemberian penghargaan (reward). Kesadaran intrinsic di atas akan terjaga secara konstan apabila seorang professional mendapat perhatian penghargaan (reward). Reward bisa berarti hak yang melekat secara ekonomi, tetapi lebih dari itu secara psikologis reward memiliki efek yang sangat besar dalam pembentukan rasa percaya diri, optimisme, bangga, dan yang terpenting adalah menumbuhkan semangat, produktifitas, dan ketangguhan kerja.
Perubahan merupakan suatu keniscayaan, segalanya bergerak berjalan dinamis, “Pante Rei”. Tidak ada sesuatu yang tetap kecuali yang “Maha Ada”, ini adalah kodrat dari yang “Maha Ada”. Pendidikan akan menemukan maknanya jika memahami kodrat perubahan.
Dari waktu ke waktu para insane pendidikan tidak cukup puas dari apa yang dicapai. Tantangan akan selalu hadir dan menuntut kita untuk selalu berbuat. Perbaikan mutu yang dilandasi oleh pribadi yang kokoh, sadar nilai etika dan agama menjadi tugas dan tanggung jawab yang mesti dihadapi oleh para professional pendidikan. Oleh karenanya rasa percaya diri, optimisme, komitmen, inovasi, etos kerja dan budaya mutu merupakan kesadaran melekat yang mesti tertanam pada jiwa para professional pendidikan. Dengan demikian tidak perlu menunggu waktu lama, ketercapaian mutu pendidikan akan segera diwujudkan.
Alamat Penulis
Kantor : SMA Negeri Darussholah Singojuruh
Jl. Gumirih No. 39 Singojuruh – Banyuwangi
Telp. (0333) 635381
Tidak ada komentar:
Posting Komentar