Rabu, 21 September 2011

PEMIKIRAN DAN KRITIK IMPLEMENTASI KURIKULUM

PEMIKIRAN DAN KRITIK IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si

Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh - Banyuwangi

Dosen STAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi

Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Dalam perspektif paradigma mutu, bahwa mutu berarti “perubahan berazas manusiawi” dan “tepat untuk pakai”. Dengan demikian, pendidikan yang berorientasi pada mutu bukan hanya sebatas peningkatan kualitas peserta didik di bidang akademik dan keilmuan. Akan tetapi lebih dari itu bahwa, di dalam penyelenggaraan pendidikan harus memberi nilai manfaat yang lebih praktis bagi pemenuhan kebutuhan hidup peserta didik dan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Dr Joseph M. Juran bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah “mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat”. (Jerome S. Arcaro, 2005:8).

Paradigma ini memiliki relevansi kuat dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), karena essensi KTSP adalah merupakan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat otonom. Melalui otonomi sekolah, dituntut setiap satuan pendidikan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum berbasis mutu. Yaitu kurikulum yang disesuaikan berdasar kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan ketrampilan pribadi, ketrampilan berpikir, ketrampilan sosial, ketrampilan akademik, dan ketrampilan vokasional merupakan keniscayaan dalam KTSP. (Permendiknas, No 22 tahun 2006).

Konsep yang demikian setrategis ini apabila diterapkan secara tepat dan konsisten, maka tidak menutup kemungkinan kita akan benar-benar siap memasuki era “milenium development goals” yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 2015 yang akan datang. Milenium Development Goals tidak lain adalah suatu era pasar bebas atau era globalisasi, sebagai era persaingan mutu atau kualitas, siapa yang berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan eksistensinya. Oleh karena itu, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. (Mulyasa, 2006 : 2). Berarti Pemerintah dalam Milenium Development Goals tahun 2015 berharap sejauh mungkin mutu tidak lagi menjadi persoalan pendidikan Indonesia, pendidikan harus sudah siap dan mampu berkompetisi baik di tingkat regional maupun global.

Kurang lebih 3 tahun KTSP berjalan, tetapi realitas terasa masih jalan di tempat. Dalam banyak kasus, implementasi KTSP masih dihadapkan berbagai persoalan yang menjadi kendala bagi ekspektasi tercapainya tujuan. Yang lebih ironis, penetapan sekolah berkategori Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) justru lebih terkesan dipaksakan, hanya sekedar sebuah identitas yang tidak berdasar kesiapan secara obyektif dari 8 kriteria standar nasional pendidikan.

FAKTOR PENGHAMBAT

Setidaknya dapat diidentifikasi tiga faktor kendala utama yang menjadi penghambat implementasi KTSP: pertama, pemikiran ortodox dan konservatif; kedua, lemahnya misi mutu; dan ketiga, Interest politik lokal.

1. Pemikiran ortodox dan konservatif

Tidak sedikit para profesional pendidik dalam otaknya melekat pola pikir konservatif dan bersifat tradisional, yaitu cara berpikir apriori dalam menyikapi adanya nilai-nilai baru ataupun konsep-konsep baru. Mereka lebih berada pada “status-quo”, menjalankan sesuatu yang ada dan enggan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan.

Dalam konteks implementasi KTSP dapat terlihat, tidak ada keseriusan untuk memahami konsep KTSP, sehingga kurikulum yang dikembangkannya sama sekali tidak mencerminkan nilai, ciri, dan karakteristis pada setiap satuan pendidikan. Bahkan tidak juga memperlihatkan tingkat kepentingan ataupun kebutuhan kehidupan peserta didik dan masyarakat. Justru yang terjadi adalah kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan, baik yang berada di daerah maupun perkotaan cenderung sama sebagai hasil adopsi (baca: copy paste). Berarti dapat dikatakan bahwa, kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan belum memenuhi prinsip-psinsip penyusunan KTSP.

2. Lemahnya Misi Mutu

Misi terkait langsung dengan proses dan tindakan nyata untuk mewujudkan atau merealisasikan visi yang dimiliki oleh satuan pendidikan. Berarti misi dapat berbentuk suatu program dan pemberian layanan pada peserta didik melalui proses kegiatan pendidikan dan pembelajaran.

Fenomena yang terjadi saat ini, misi sebagai proses berlangsungnya pendidikan menjadi titik lemah pada satuan pendidikan. Karena sebagian besar profesional pendidik masih belum menunjukkan konsistensi dan komitmennya pada mutu. Semangat meningkatkan kompetensinya lemah, tingkat kedisiplinannya rendah, dan kegiatan pembelajaran belum efektif karena masih kental dengan metode konvensional, serta miskin inovasi dan kreativitas. Demikian halnya masalah penilaian, seringkali dilakukan tidak berdasar prinsip obyektifitas, transparansi, dan akuntable. Dalam guyonan, sangat populer dengan istilah “ngaji” – ngarang biji. Inilah lemahnya misi mutu para profesional pendidik.

3. Interest Politik Lokal

Bahwa politik serba hadir dalam dimensi ruang dan dimensi apapun, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Maka melalui berlakunya sistem pilkada secara langsung dan otonomi daerah, ternyata lebih mendorong terjadinya hegemoni pilitik dan lembaga pendidikan semakin terkooptasi oleh kepentingan politik lokal.

Kasus di Banyuwangi patut untuk dikaji, akibat harus bisa mengamankan kebijakan populis penguasa berupa biaya pendidikan gratis, ternyata menimbulkan persoalan dilematis dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah berstatus negeri. Bagaimanapun sekolah dituntut untuk bisa membangun mutu dan guru juga harus melakukan pengabdian secara total. Tetapi, pada sisi lain ia dihadapkan oleh krisis keuangan, yaitu kesulitan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pemerintah tidak konsekwen, anggaran pendidikan dari daerah tidak pernah terjadwal dengan tepat. Akibatnya sangat menggelikan, wibawa lembaga pendidikan dipertaruhkan, sekolah terpaksa harus mencari dana talangan (baca: hutang). Dan yang lebih menyulitkan lagi, ketika mengambil insiatif untuk menumbuhkan partisipasi biaya pendidikan dari masyarakat akan beresiko politik pada jabatan yang dimiliki. Ternyata loyalitas lebih berharga dari sebuah prestasi dan kinerja.

Maka praktis, sekolah-sekolah negeri semakin kehilangan kemandirian, Kepala Sekolah tidak memiliki kebebasan mengambil inisiatif, otonomi pendidikan menjadi semu, dan manajemen pengembangan mutu berbasis sekolah sebagai essensi KTSP akhirnya berjalan di tempat.

MENCARI JALAN KELUAR

Persoalan pendidikan ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama, apalagi dunia pendidikan sudah dibuat malu dari gagalnya Ujian Nasional pada 33 SMA. Semua komponen bangsa harus memiliki kepekaan terhadap krisis yang terjadi, tidak perlu saling lempar tanggung jawab, ini adalah menjadi masalah bersama. Oleh karena itu diperlukan pikiran realistis untuk menemukan jalan keluar. Setidaknya ada dua hal yang secepatnya bisa dilakukan:

1. Adanya Pemimpin Mutu

Pengalaman membuktikan, terjadi perubahan sangat signifikan ketika sekolah dipimpin oleh seorang yang memiliki misi mutu. Ia cenderung menerapkan manajemen transparan dan partisipatif. Akhirnya, ia akan lebih mudah membangun kerjasama, menumbuhkan komitmen dan tanggung jawab, serta membangkitkan etos kerja tinggi di Sekolah yang dipimpinnya. Inilah fondasi dari sebuah kemajuan dan keberhasilan.

Maka yang lebih penting adalah mempersiapkan proses rekrutmen kepala sekolah yang visioner. Barangkali perlu ada proses rekrutmen secara berjenjang dan berkesinambungan. Penjaringan guru teladan, guru berprestasi, lomba karya tulis ilmiah guru, uji kepemimpinan dan kinerja, serta pemilihan guru profesional bisa dijadikan sebagai rangkaian sistem dalam pemilihan calon kepala sekolah. Sehingga yang lebih utama adalah kompetensi, kapabilitas, dan bukan karena pesanan atau balas budi.

Tetapi dalam manajemen mutu, bahwa pemimpin mutu tidak hanya tertumpu pada kepala sekolah, semua unsur terlibat dalam sistem. Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru, siswa, dan wali murid, semua memiliki tanggung jawab dan keterlibatan untuk memberikan kontribusi pada upaya mutu. Dan kemampuan untuk menumbuhkan kesadaran, kepedulian menjadi bagian yang harus dimiliki oleh kepala sekolah.

2. Revitalsasi Organisasi Profesi Pendidik

Terindikasi bahwa para profesional pendidik lemah jika berhadapan dengan kekuasaan politik. Ia hanya ngedumel .... ngedumel .... dan ngedumel, tunjangan lauk pauk hangus ngedumel, tunjangan fungsional terhambat ngedumel. Begitu juga ketika terjadi krisis keuangan sekolah, bisanya hanya mengeluh. Tetapi ketika disuruh bersikap, berteriak semuanya diam, lari bersembunyi, bertiarap. Alasannya sama, akan berisiko pada tempat kedinasan dan jabatannya.

Maka di sinilah arti pentingnya pemberdayaan para profesional pendidik. Suatu hal yang harus dilakukan adalah, mengoptimalkan peran organisasi profesi pendidik seperti halnya Musawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Forum Ilmiah Pendidik (FIP), Musawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan utamanya adalah PGRI.

Organisasi ini bukan hanya berfungsi untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, tetapi tidak kalah pentingnya untuk menjadi penjaga eksistensi nilai-nilai dan kerja profesional. Organisasi ini memang tidak harus berpolitik, tetapi juga tidak boleh tinggal diam ketika kebijakan politik mengganggu apalagi menghambat sistem kerja penyelenggaraan pendidikan. Kekuasaan memang harus dihargai dan dihormati, termasuk oleh guru sebagai bagian aparatur pemerintah. Namun demikian, kemerdekaan bersikap serta pemikiran kritis menjadi lebih essensial ketika untuk memperjuangkan masa depan pendidikan dan prinsip-prinsip kerja profesional. Maka sikap independensi dan jatidiri organisasi profesi pendidik untuk menjadi penyalur aspirasi memperjuangkan komitmen pendidikan merupakan suatu kemutlakan. Dan yang jelas, lahirnya absolutisme kekuasaan harus dicegah. Otonomi daerah justru harus memberikan kontribusi mutu serta penguatan bagi berlakunya penyelenggaraan otonomi sekolah sebagai esensi KTSP.

Sikap kritis apapun yang dilakukan, bagi seorang profesional pendidik tidak keburu gegabah, ia memahami tindakan apa yang lebih tepat dilakukan, dan kebaikan menjadi dasar untuk menentukan sikap. Demikian halnya apa yang diperjuangkan merupakan sesuatu yang lebih substanstif, sesuatu yang mendasar bagi masa depan bangsa. Maka perjuangan serta pengabdian seorang profesi pendidik tidak boleh berhenti, setiap generasi dan anak bangsa menunggu, meminta kita untuk menghantarkan pada masa depan yang lebih baik. Guru adalah pejuang nurani, barometer moral dan kunci sukses kemajuan bangsa. Maka naif jika politisi tidak menghargai profesi guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar