Rabu, 21 September 2011

MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU


MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU

Di Atas Fondasi Kecerdasan Hati Dan Spiritual




Oleh : Drs. Saiful Bahri, M.Si.

· Guru SMA Negeri Darussholah Singojuruh

· Dosen STAI Ibrahim Genteng – Banyuwangi

· Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi

Masa depan pendidikan mulai menemukan momentumnya, artinya ada harapan menggembirakan bagi bangkitnya dunia pendidikan Indonesia. Fenomena ini ditandai oleh adanya “political will” baik dari para politisi maupun pemerintah berupa dibuatnya kebijakan ataupun regulasi yang memberikan angin segar terhadap percepatan kemajuan pendidikan. Seperti yang nampak dirasakan adalah lahirnya regulasi otonomi pendidikan yang mengarah pada Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), persyaratan sertifikasi guru menuju guru profesional, penyempurnaan kurikulum secara inkremental yang konteks dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan lebih menggembirakan lagi adalah alokasi anggaran pendidikan 20 % dari APBN ataupun APBD akan landing di tahun 2009.

Bagaimanapun, keterlibatan serius negara terhadap pembangunan pendidikan merupakan suatu keniscayaan, termasuk menyangkut perangkat kebijakan dan alokasi anggaran. Sekilas sebagai perbandingan di mana negara-negara yang memiliki pendidikan maju ternyata, memiliki regulasi yang memberikan kontribusi bagi percepatan kemajuan pendidikan serta mengalokasikan anggaran pendidikan cukup tinggi. Minus di luar gaji guru, Belanda misalnya mengalokasikan anggaran pendidikan mencapai 37%, Thailand mencapai 30%, sedangkan di Amerika Serikat, Korea Selatan dan India lebih dari 30%.

Nyata dan jelas sekali investasi di bidang pendidikan merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, karena berimplikasi luas dan positif diberbagai sektor kehidupan. Jepang suatu negara yang pernah hancur, dalam waktu relatif cepat menjadi negara pusat industri dan teknologi tidak lain karena diawali fokus pada pendidikan.

Sementara Indonesia, pendidikannya yang masih jauh terpuruk, akan sangat naif jika masih terjebak dan terperangkap oleh perdebatan konflik internal partai, pendirian partai-partai baru, rebutan kursi politik dan perbincangan demokrasi yang semakin tidak jelas arahnya. Sehingga hanya membuang-buang energi dan tidak menyentuh substansi kebutuhan masyarakat, apalagi masih ribut soal korupsi.

Olah karena itu, menjadi kewajiban segenap komponen bangsa untuk memiliki komitmen terhadap pendidikan. Dan sudah barang tentu yang harus berada di garis depan adalah guru. Gurulah sebagai ujung tombak pendidikan, pemegang kunci dalam mencerdaskan anak bangsa dan segenap kepribadiannya. Di tangan para guru keberhasilan pendidikan akan ditentukan. Maka konsekuensinya, tidak ada pilihan lain kecuali harus meningkatkan profesionalisme. Tanpa kualitas diri dan profesionalisme guru, jangan banyak diharap pendidikan akan berhasil.

Yang menjadi persoalan, harus memulai dari mana profesionalisme guru itu dibangun? Akankah dimulai dari perbaikan tingkat kesejahteraan dan status sosialnya? Meskipun terdengar isue klasik, barangkali tidak terlalu salah jika hal itu mendapat perhatian. Karena gejala yang timbul di permukaan, tingkat kesejahteraan yang layak dapat menjadi pemicu (trigger) dan motivasi tingginya kinerja serta prestasi kerja.

Bagi Indonesia, tingkat kesejahteraan yang selalu menjadi alasan klasik rendahnya mutu guru sudah mulai terjawab. Artinya stigma guru Indonesia tidak lagi seperti “Bapak Oemar Bakri” yang digambarkan tempo dulu oleh sang maestro penyanyi Iwan Fals, tetapi sudah memasuki gengsi tersendiri. Maka akankah profesionalisme guru Indonesia akan segera terwujud? Ternyata itu bukan suatu jaminan. Karena hubungan antara kenaikan gaji dengan mutu pendidikan dan profesionalisme terjadi korelasi secara linier. Artinya, perbaikan tingkat kesejahteraan dan status sosial tidak menjadi kemutlakan meningkatkan profesionalisme dan perbaikan mutu pendidikan.

PERGESERAN PARADIGMA

Justru yang lebih menarik direnungkan adalah terjadinya pergeseran paradigma. Ada kemajuan yang luar biasa tren perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Sumber Daya Manusia dan manajemen terkini, yaitu mengarah pada aspek-aspek etika dan bahkan aspek spiritualisme dalam membangun sumber daya manusianya. Kecenderungan ini diperkuat oleh berbagai temuan data empiris dan hasil survei internasional, yang berarti bukan didapat dari pendekatan dogmatis. Sebagaimana ditulis oleh Prof. DR. Gay Hendrick dan Kate Ludeman dalam bukunya The Corporate Mystic Tahun 2002 menyatakan : “saat ini tren perusahaan – perusahaan raksasa dunia sudah mengarah pada aspek spiritual dalam pengembangan SDM. Anda akan menemukan para sufi korporasi bukan di tempat peribadatan tradisional namun justru di perusahaan-perusahaan raksasa internasional”.

Lebih lanjut Thomas Friedman mengatakan, dalam era pasar yang semakin global, teknologi digital merambah hingga di semua lini kehidupan, ternyata dunia semakin maju tidak lagi hanya bermain di tataran fungsi logika dan profesionalisme kerja, namun juga meaning atau pemaknaan, yaitu mengarah pada ultimate meaning dan purposif – puncak makna dan tujuan hidup yang semakin universal.

Kecenderungan yang demikian ini disebut sebagai awal kebangkitan spiritual. Dengan kata lain, nilai-nilai spiritualitas akan segera ditempatkan di atas paragidma pragmatisme dan materialisme sebagai nilai, makna dan tujuan hidup tertinggi. Maka akan menemukan maknanya yang lebih utuh apabila paradigma yang menempatkan aspek etika dan spiritualitas sebagai nilai, makna dan tujuan hidup tertinggi tidak hanya merambah masuk di lingkungan perusahaan dan dunia bisnis, tetapi juga ditransformasikan ke dalam lingkungan dunia pendidikan. Berarti ekspektasi tercapainya tujuan pendidikan bisa segera terwujud.

PENGUATAN KECERDASARAN HATI DAN SPIRITUAL

Memahami terjadinya pergeseran paradigma di atas, maka dapat diambil makna bahwa membangun profesionalisme guru tidak hanya cukup melalui penguatan tingkat kompetensi dan tingginya nilai kesejahteraan guru. Tetapi lebih dari itu perlu dibarengi dua hal esensial yang selama ini belum banyak disentuh dan sering diabaikan yakni membentuk kecerdasan hati dan kesadaran spiritual.

Hati adalah sumber kecerdasan emosi yang mengajarkan pada kita integritas, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan dan penguasaan diri. Hati juga menjadi sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerja sama, memimpin serta melayani. Maka melalui hati akan membangkitkan nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani, menjadi suatu perbuatan.

Itulah pentingnya kecerdasan hati, ketika profesionalisme guru melupakan, mengabaikan prinsip kecerdasan hati, ia akan kehilangan idealisme, komitmen, integritas dan bahkan kehilangan ketahanan mental. Ia akan menjadi seorang profesionalisme yang lemah, kehilangan konsistensi dan menjadi seorang pekerja yang buruk. Ia menjadi guru bukan lagi karena panggilan jiwa, adanya rasa responsibility terhadap majunya generasi masa depan, tetapi ia menjalankan tugas sebatas hanya karena sebuah pekerjaan. Benar apa yang dikatakan oleh seorang psikolog dari Yale Robert Stanberg ahli dalam bidang Succesful Intelegence, menurut dia : “Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan apabila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk”.

Tidak kalah pentingnya adalah aspek spiritualitas. Sementara masih banyak orang mengabaikan kekuatan spiritualitas, justru berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotipe, dikotomi antara dunia dan akhirat, antara materialisme versus orientasi nilai-nilai ilahiah. Tentu suatu pandangan yang secepatnya untuk dirubah, karena keduanya menjadi kebutuhan hidup manusia secara bersamaan.

Ada temuan menarik dari hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh ahli psikologi / saraf Michael Persinger di tahun 1990 an dan seorang ahli saraf VS Ramachandran di tahun 1997, ternyata dalam diri otak manusia terdapat eksistensi God Spot sebagai pusat spiritual serta tempat dari value manusia tertinggi (The Ultimate Meaning). Melalui God Spot inilah nilai-nilai ilahiah akan berkembang dan menyatu dalam diri (jiwa) manusia, ia akan menemukan makna hidup yang sebenarnya dan tujuan hidup tertinggi.

Maka seorang profesionalisme (guru) yang memiliki kesadaran spiritual tinggi (kecerdasan spiritual – SQ), ia bekerja bukan hanya karena panggilan jiwa tetapi sekaligus menjadi panggilan ilahiah. Dan ia menjalankan profesinya menjadi lebih total, tidak lagi memiliki perasaan tertekan, bukan dorongan materi, juga bukan karena atasan. Tetapi lebih karena didasari oleh kesadaran tinggi bahwa hidup adalah harus bermakna rohaniah. Mengajar di kelas, mencerdaskan anak bangsa disadarinya sebagai kewajiban mengamalkan ilmu, merupakan tugas luhur dan mulia yang patut dijalani dengan prinsip-prinsip profesionalisme yang dilandasi semangat beribadah.

Sekiranya bukan sesuatu yang bersifat utopis, sesuatu yang tidak mungkin bisa dicapai apa yang dipaparkan di atas. Tetapi lebih merupakan sebuah “visi” yang patut kiranya ditransformasikan sehingga melembaga pada sekolah dan setiap satuan pendidikan. Semangat profesionalisme dan budaya mutu akhirnya tidak kehilangan akar nilai-nilai spiritualitas. Dalam arti kata terciptanya suatu iklim profesionalisme yang memiliki sadar nilai etika dan agama pada setiap lembaga pendidikan.

Alamat Penulis

Kantor : SMA Negeri Darussholah Singojuruh

Jl. Gumirih No. 39 Singojuruh – Banyuwangi

Telp. (0333) 635381

Tidak ada komentar:

Posting Komentar