PARADOKS SERTIFIKASI GURU
(sebuah perspektif mandeknya mutu pendidikan)
Oleh : Drs. SAIFUL BAHRI, M.Si.
· Guru SMA Negeri 1 Darussholah Singojuruh,
· Dosen STAI Ibrahimy Genteng,
· Aktivis LSM Merah Putih Banyuwangi.
Perkembangan dunia pendidikan Indonesia masih tampak memprihatinkan, jauh dari harapan ideal (ideal expectation) untuk terciptanya kualitas pendidikan yang memungkinkan mampu memberdayakan potensi masyarakat. Statement ini bukan sesuatu yang tidak beralasan, dari hasil survey yang dilakukan oleh the political and economic risk consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post 3 September 2001 menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Begitu pula berdasar index pengembangan sumber daya manusia (Human Depelopment Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 179 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 di antara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 di antara 47 negara pada tahun 2001.
Suatu realitas yang harus diakui meski dengan memikul beban moral yang cukup berat. Tetapi yang lebih prinsip semua komponen bangsa harus bersikap, tidak membiarkan berlama-lama hingga keadaan berlarut-larut menjadi semakin buruk. Karena pendidikan bukan persoalan yang sederhana, pendidikan menyangkut pembentukan manusia dan karakternya yang berdampak signifikan terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan.
|
Menurut mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro, sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yakni : 1) sarana gedung, 2) buku yang berkualitas, 3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Khusus tentang keberadaan guru, lebih lanjut Wardiman Djoyonegoro mengemukakan dalam wawancaranya di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 2004, bahwa hanya 43% guru yang memenuhi syarat. Artinya, sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.
INKONSISTENSI GURU DALAM PEMBELAJARAN
Berbagai upaya perbaikan profesionalisme telah dilakukan oleh pemerintah, termasuk adanya tunjangan gaji profesi melalui persyaratan sertifikasi guru. Hingga tahun 2010, lebih dari 50% baik guru negeri maupun swasta telah terjaring dalam sertifikasi. Hanya saja upaya-upaya itu sekiranya belum menyentuh pada esensinya yakni, belum berpengaruh signifikan terhadap perbaikan dan peningkatan profesionalisme. Kenyataan ini dapat dicermati di lapangan, bahwa masih dijumpai berbagai inkonsistensi guru dalam pembelajaran.
Setidaknya ada 4 (empat) indikasi yang dapat dirasakan dari inkonsistensi guru dalam pembelajaran:
pertama, pelayanan pada peserta didik tidak optimal. Guru sering kali mengambil jalan pintas dalam pembelajaran yakni, mengabaikan perencanaan, tidak membuat persiapan ketika harus melakukan pembelajaran. Kalaupun memiliki, itu pun hasil copy – paste dan sekedar dijadikan kelengkapan administratif yang digunakan jika sewaktu-waktu ditanya oleh pengawas atau kepala sekolah. Padahal mengajar tanpa disertai dengan persiapan dan perencanaan yang baik, proses belajar tidak akan efektif dan efisien. Sehingga dengan sendirinya merugikan peserta didik.
kedua, lemahnya idealisme. Tidak sedikit guru yang mulai kehilangan gairah membaca untuk memperkuat kompetensi keilmuan serta mengembangkan wawasannya. Padahal kompetensi guru sangat berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Siswa yang dibimbing oleh guru yang memiliki kompetensi tinggi dengan guru yang kompetensinya pas-pasan, jelas hasilnya akan berbeda. Maka merupakan suatu keuntungan besar bagi siswa yang memiliki guru yang masih menjaga idealismenya.
Ketiga, Tidak mengembangkan kemampuan kreatif dan inovatif. Bahwa tidak sedikit guru yang mengabaikan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran secara kreatif dan inovatif sehingga kegiatan pembelajaran terkesan monoton tidak berjalan efektif, bahkan banyak siswa mengeluh dan jenuh dalam proses pembelajaran berlangsung.
keempat, tingkat perhatian dan kepedulian pada peserta didik rendah. Bahwa di samping misi mutu akademis, guru memiliki fungsi ganda untuk membentuk kepribadian, karakter, dan sikap mental peserta didik. Tetapi fenomena yang berkembang, guru justru kurang memperhatikan muatan pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berlangsung. Dan bahkan tidak memahami karakteristik peserta didik baik dari aspek fisik, moral, spiritual, dan sosial-emosionalnya. Sehingga ketika anak melakukan kesalahan, guru cenderung menggunakan destructive discipline, yakni menunjukkan sikap marah, dan memberikan hukuman tanpa melihat latar belakang kesalahan yang dilakukannya.
Keempat inkonsistensi tersebut dengan sendirinya akan berimplikasi langsung terhadap mandeknya transformasi mutu pendidikan. Sebab dalam proses pembelajaran, guru menempati posisi sentral sebagai pusat perubahan (agent of change) terhadap kapasitas peserta didik. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa, kompetensi profesional guru merupakan tuntutan dan keniscayaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
PROFESIONALISME GURU, KAPAN...?
Paparan tentang inkonsistensi guru dalam menjalankan profesinya tidak berarti menegasikan keberhasilan dan jasa baik yang telah diabdikan pada masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Tetapi akan lebih bermakna bahwa, sekecil apapun kesalahan yang diperbuat, setidaknya dapat dijadikan sebagai refleksi atau reorientasi pemikiran untuk membangun profesionalisme yang melekat pada dirinya. Karena keberadaan profesionalisme guru menempati kedudukan yang urgen terhadap keberhasilan dan peningkatan kualitas pendidikan.
“What is the profesional teacher like” – seperti apakah guru profesional itu? Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, educational leadership edisi Maret 1993 menurunkan laporan utama tentang profesionalisme guru. Menurut jurnal itu, untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal.
“Pertama, Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
Kedua, Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam prilaku siswa sampai tes hasil belajar.
Keempat, Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
Kelima, Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.”
Ternyata, potret guru profesional terasa amat sederhana dan pragmatis, membuat sesuatu lebih mudah dicapai. Lantas, mengapa sampai kini masih sebatas impian, jauh dari kenyataan? Inilah persoalan guru kita (Indonesia).
Sebenarnya, tidak terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa “Guru Kita” memiliki segenap potensi untuk memenuhi kualifikasi guru profesional. Oleh karenanya yang lebih urgen adalah melakukan tindakan-tindakan nyata untuk mewujudkannya. Pertama, menumbuhkan kemauan atas kemampuannya untuk mengembangkan diri, mengeksplorasi potensinya sehingga lebih menguatkan kompetensi yang dimiliki. Kedua, ditumbuhkan motivasi untuk tetap memiliki idealisme dan komitmen terhadap perbaikan mutu pendidikan. Ketiga, membangkitkan etos kerja tinggi di lingkungan di mana ia bertugas. Dan keempat, dukungan faktor eksternal, terutama menyangkut perhatian negara terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial guru. Dalam prinsip profesionalisme dikenal dengan istilah “well educated, well trained, well paid” karena keahliannya yang tinggi, maka seorang profesional dibayar tinggi.
Adanya persyaratan sertifikasi guru tidak lain merupakan kebijakan yang realistis, yang patut mendapat apresiasi, karena di samping sebagai upaya perbaikan mutu guru sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap jasa dan profesi guru. Guru memang tidak sepantasnya diperlakukan diskriminatif, untuk diperlakukan tidak sama dengan profesi-profesi jenis kepegawaian lainnya.
Tetapi tidak hanya cukup sebatas itu, aturan sertifikasi guru harus dijalankan secara konsisten, konsekuen, jauhkan perasaan-perasaan toleransi dan sikap setengah hati, dan justru harus berjalan normatif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Komponen portofolio sertifikasi guru harus dinilai secermat mungkin untuk menjaga obyektifitas, akurasi dan tingkat akuntabelitas data. Lebih dari itu bahwa, bagi setiap guru yang telah memperoleh tunjangan gaji profesi tidak salah jika pemerintah menerapkan penilaian kinerja, dilakukan evaluasi secara berkelanjutan melalui pengawasan secara terencana dan terprogram. Bukan bermaksud untuk membebani, tetapi untuk lebih meningkatkan rasa tanggung jawab, menjaga komitmen dan konsistensi. Sebab diakui atau tidak, budaya tanggung jawab masyarakat Indonesia masih harus dilakukan secara imperatif, belum tumbuh karena suatu kesadaran diri.
Perubahan menuntut semua orang memiliki komitmen, berarti perubahan yang telah dilakukan oleh guru sudah semestinya dibarengi oleh terciptanya iklim yang kondusif bagi tersedianya sarana pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru. Dalam konteks otonomi pendidikan, maka pemerintah daerah memiliki tanggung jawab langsung dalam penyelenggaraan dan kemajuan pendidikan di daerahnya. Pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) perlu menyiapkan grand designe pendidikan, menyediakan sarana dan prasarana sekolah, mengalokasikan anggaran, menyiapkan investasi pendidikan yang memadai, serta pendayagunaan sumber daya pendidikan secara efisien. Guru harus diberi kesempatan berkembang yang seluas-luasnya tanpa ada kebijakan satu pun yang menghambatnya. Maka expectasi tercapainya tujuan pendidikan secepatnya akan segera terwujud.